Oleh : R. Marfu Muhyiddin Ilyas, MA
KATA kunci dari belajar dan mengajar adalah perubahan. Ya, perubahanlah yang menjadi ukuran apakah seorang anak sudah belajar dan seorang guru atau guru sudah mengajar. Maka setiap langkah guru menuju sekolah, menuju kelas, adalah langkah perubahan.
Setiap goresan tinta guru dalam merencanakan pembelajaran adalah goresan perubahan. Setiap kelas yang guru masuki, adalah medan perubahan. Demikian seharusnya. Setiap anak yang kita jumpai adalah jawaban benarkah guru dan orang tua sudah membuat mereka berubah?
Pada faktanya, melakukan perubahan tidak semudah membalikan tangan, tidak semudah sulap yang cukup dengan berucap sim salabin abrakadabra. Dengan kata lain, acapkali kita menemukan anak yang gagal dalam belajar alias tidak menunjukkan perubahan. Mengapa? Tentang inilah saya ingin berbagi melalui tulisan ini. Saya akan merujuk pemikiran Burhanuddin Az-Zarnujy, seorang ulama besar abad 7 Hijriyah yang pakar pendidikan akhlak dan psikologi belajar Islam.
Makna Gagal Belajar
Ada dua makna gagal belajar. Pertama, sama sekali tidak mendapatkan pemahaman tentang yang ilmu yang dipelajari, tidak mencapai kompetensi yang seharusnya dipenuhi. Saya menyebutnya, bolostrong (bahasa Sunda), artinya kosong. Masuk kelas dengan kepala kosong, ke luar kelas masih kosong. Nah, itu namanya bolostrong. Sungguh kasihan bila anak-anak kita setiap hari seperti ini. Tapi lebih kasihan lagi kita sebagai gurunya. Bukankah sangat mungkin kitalah justru yang membuat mereka bolostrong?
Makna kedua dari gagal belajar adalah tidak adanya karakter yang terbentuk. Ilmu mungkin dikuasai, konsep dan prosedur mungkin dipahami, KKM mungkin dilampaui dengan sangat jauh, tetapi tidak berefek pada perubahan sikap dan perilaku, alias karakter. Inilah yang disebut ilmu tidak manfaat.
Mengapa Gagal?
Kegagalan belajar bermuara pada dua sebab utama, yaitu berkaitan dengan metode dan etika. Artinya belajar tanpa metode dan belajar tanpa etika, itulah pewaris kegagalan belajar yang dialami siswa. Belajar tanpa metode dan etika adalah belajar menuju gagal.
Belajar tanpa metode, itulah yang hampir umum ditemukan pada anak-anak kita, atau mungkin di hampir semua sekolah. Sudahkah anak-anak kita mengetahui metode mencatat yang efektif, metode membaca, metode menghafal, metode menjawab, metode mempelajari sebuah mata pelajaran? Mari persempit pertanyaanya pada mata pelajaran yang kita ampu.
Sebagai guru agama misalnya, saya harus bertanya sudahkan anak-anak didik saya tahu bagaiman metode mempelajari Islam yang baik dan efektif? Atau dipersempit lagi pada kompetensi tertetu. Sudahkah anak-anak didik saya mengetahui metode memahami ilmu waris yang mudah dan cepat?
Maka kewajiban seorang guru adalah mengenalkan dan mengajarkan kepadan anak metode belajar. Mengajarkan metode belajar jauh lebih penting daripada mengajarkan materi atau kompetensi mata pelajaran itu sendiri. Mengajar sebuah mata pelajaran tanpa mengajarkan bagaimana metode mempelajarinya, sama dengan menyuruh anak masuk kolam renang tanpa diajarkan cara berenang. Tidak kelelep pun dah syukur! Mak, mari ajari anak-anak kita belajar bagaimana cara belajar.
Bayangkan, bila seorang guru menghabiskan alokasi 1 tatap muka dengan 2 jam pelajaran untuk mengenalkan metode belajar mata pelajaran yang diampunya, sungguh menurut saya itu akan jadi senjata ampuh dan energi dahsyat untuk dengan mudah mempelajari mata pelajaran tersebut pada belasan tatap muka lainnya. Itulah kekuatan metode.
Demikianlah betapa pentingnya seorang guru, da’i, orang tua, dan semua yang terlibat dalam pendidikan memahami pentingnya metode. Mewariskan Islam kepada anak-anak kita perlu disertai dengan kesadaran akan hal ini. Sangat disayangkan, masih banyak guru dan da’i yang pengajarannya tentang Islam hanya mementingkan isi dan melupakan metode. Padahal bila berkaca kepada sejarah hidup Rasulullah saw, betapa Rasulullah saw adalah sosok yang sangat memperhatikan metode.
Di sekolah, saya sering berseloroh, salah besar bila guru mengajar tapi tidak mengajarkan metode belajar. Mengapa? Ya, karena itu sama saja dengan membiarkan siswa gagal sejak awal.
Sumber :
Islampos
KATA kunci dari belajar dan mengajar adalah perubahan. Ya, perubahanlah yang menjadi ukuran apakah seorang anak sudah belajar dan seorang guru atau guru sudah mengajar. Maka setiap langkah guru menuju sekolah, menuju kelas, adalah langkah perubahan.
Setiap goresan tinta guru dalam merencanakan pembelajaran adalah goresan perubahan. Setiap kelas yang guru masuki, adalah medan perubahan. Demikian seharusnya. Setiap anak yang kita jumpai adalah jawaban benarkah guru dan orang tua sudah membuat mereka berubah?
Pada faktanya, melakukan perubahan tidak semudah membalikan tangan, tidak semudah sulap yang cukup dengan berucap sim salabin abrakadabra. Dengan kata lain, acapkali kita menemukan anak yang gagal dalam belajar alias tidak menunjukkan perubahan. Mengapa? Tentang inilah saya ingin berbagi melalui tulisan ini. Saya akan merujuk pemikiran Burhanuddin Az-Zarnujy, seorang ulama besar abad 7 Hijriyah yang pakar pendidikan akhlak dan psikologi belajar Islam.
Makna Gagal Belajar
Ada dua makna gagal belajar. Pertama, sama sekali tidak mendapatkan pemahaman tentang yang ilmu yang dipelajari, tidak mencapai kompetensi yang seharusnya dipenuhi. Saya menyebutnya, bolostrong (bahasa Sunda), artinya kosong. Masuk kelas dengan kepala kosong, ke luar kelas masih kosong. Nah, itu namanya bolostrong. Sungguh kasihan bila anak-anak kita setiap hari seperti ini. Tapi lebih kasihan lagi kita sebagai gurunya. Bukankah sangat mungkin kitalah justru yang membuat mereka bolostrong?
Makna kedua dari gagal belajar adalah tidak adanya karakter yang terbentuk. Ilmu mungkin dikuasai, konsep dan prosedur mungkin dipahami, KKM mungkin dilampaui dengan sangat jauh, tetapi tidak berefek pada perubahan sikap dan perilaku, alias karakter. Inilah yang disebut ilmu tidak manfaat.
Mengapa Gagal?
Kegagalan belajar bermuara pada dua sebab utama, yaitu berkaitan dengan metode dan etika. Artinya belajar tanpa metode dan belajar tanpa etika, itulah pewaris kegagalan belajar yang dialami siswa. Belajar tanpa metode dan etika adalah belajar menuju gagal.
Belajar tanpa metode, itulah yang hampir umum ditemukan pada anak-anak kita, atau mungkin di hampir semua sekolah. Sudahkah anak-anak kita mengetahui metode mencatat yang efektif, metode membaca, metode menghafal, metode menjawab, metode mempelajari sebuah mata pelajaran? Mari persempit pertanyaanya pada mata pelajaran yang kita ampu.
Sebagai guru agama misalnya, saya harus bertanya sudahkan anak-anak didik saya tahu bagaiman metode mempelajari Islam yang baik dan efektif? Atau dipersempit lagi pada kompetensi tertetu. Sudahkah anak-anak didik saya mengetahui metode memahami ilmu waris yang mudah dan cepat?
Maka kewajiban seorang guru adalah mengenalkan dan mengajarkan kepadan anak metode belajar. Mengajarkan metode belajar jauh lebih penting daripada mengajarkan materi atau kompetensi mata pelajaran itu sendiri. Mengajar sebuah mata pelajaran tanpa mengajarkan bagaimana metode mempelajarinya, sama dengan menyuruh anak masuk kolam renang tanpa diajarkan cara berenang. Tidak kelelep pun dah syukur! Mak, mari ajari anak-anak kita belajar bagaimana cara belajar.
Bayangkan, bila seorang guru menghabiskan alokasi 1 tatap muka dengan 2 jam pelajaran untuk mengenalkan metode belajar mata pelajaran yang diampunya, sungguh menurut saya itu akan jadi senjata ampuh dan energi dahsyat untuk dengan mudah mempelajari mata pelajaran tersebut pada belasan tatap muka lainnya. Itulah kekuatan metode.
Demikianlah betapa pentingnya seorang guru, da’i, orang tua, dan semua yang terlibat dalam pendidikan memahami pentingnya metode. Mewariskan Islam kepada anak-anak kita perlu disertai dengan kesadaran akan hal ini. Sangat disayangkan, masih banyak guru dan da’i yang pengajarannya tentang Islam hanya mementingkan isi dan melupakan metode. Padahal bila berkaca kepada sejarah hidup Rasulullah saw, betapa Rasulullah saw adalah sosok yang sangat memperhatikan metode.
Di sekolah, saya sering berseloroh, salah besar bila guru mengajar tapi tidak mengajarkan metode belajar. Mengapa? Ya, karena itu sama saja dengan membiarkan siswa gagal sejak awal.
Sumber :
Islampos