Berguru Mendidik Anak kepada Nabi Ibrahim

Sabtu 10 Safar 1435 / 14 December 2013 14:17



Oleh : R. Marfu Muhyiddin Ilyas, MA
MASIH ingat kisah Kurban Nabi Ibrahim? Kisah tersebut dipaparkan secara gamblang dalam Al-Qur’an surat Ash-Shafat ayat 99 sampai 111. Ibrahim mendapat wahyu dari Allah melalui mimpinya untuk menyembelih anak semata wayangnya. Sebagai seorang ayah tentu saja Ibrahim berat melakukan ini. Tetapi kesadarannya bahwa ini adalah wahyu Allah mengalahkan segala pertimbangan rasa dan rasio. Tidak ada pilihan bagi Ibrahim kecuali melakukan dan memberi tahu anaknya perihal itu.
Mari perhatikan dengan saksama bagaimana Ibrahim menyampaikan perintah berat ini kepada anaknya. Dalam Al-Qur’an dengan sangat disebutkan kata-kata Ibrahim kepada Ismail yang bermakna sebagai beriktut:
“Duhai, Anakku sayang! Semalam ayah bermimpi menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?”
Untuk bisa memahami pesan dalama konteks evaluasi pendidikan karakter dari dialog Ibrahim tersebut, harus dipahami terlebih dahulu bahwa mimpi para Nabi adalah wahyu. Jadi bukan sembarang mimpi. Maka ketika Ibrahim bermimpi menyembelih Ismail itu artinya wahyu dari Allah untuk menyembelihnya. Tetapi ketika menyampaikan itu kepada Ismail, anaknya, Ibrahim tidak menggunakan kata-kata, “Nak, ayah diperintah Allah untuk menyembelihmu.” Padahal sejatinya itu adalah perintah.
Ibrahim mengomunikasikan urusan penyembelihan itu dengan kata-kata bermimpi, seakan-akan penyembelihan itu datang dari dirinya sendiri bukan sebagai sebuah perintah Allah. Mengapa? Di sinilah tersimpan pesan bagaimana seorang ayah menguji karakter anaknya.
Menurut para ahli tafsir Al-Qur’an kenamaan seperti Ar-Razi, Al-Qurthubi, Ibn Katsir, ungkapan yang sedemikian rupa itu dikarenakan Ibrahim ingin menguji setaat dan sepatuh apa Ismail kepada seorang ayah. Dalam momen yang begitu penting, genting, dan dramatikal itu, Ibrahim yang telah mendidik Ismail dengan ajaran tauhid merasa perlu menguji karakter kepatuhan dan hormat seorang anak kepada orang tua.
Cara Ibrahim mengevaluasi karakter Ismail ternyata efektif. Ismail menunjukkan karakter patuh dan hormat kepada sang Ayah dengan memberikan jawaban yang makin membuat Ibrahim sayang dan cinta kepada Ismail,
“Ayah, lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Ayah. Insya Allah, Ayah akan dapati aku sabar menghadapi ini.”
Bukankah dengan jawaban itu, sebagai ayah Ibrahim akan makin sayang pada Ismail. Makin berat untuk mengorbankannya. Disitulah juga terletak hebatnya perjuangan mental dan emosional Ibrahim dalam memenuhi perintah Allah. Dan Ibrahim pun lulus menempuh ujian berat ini.
Lalu bagaimana cara menerapkan metode Ibrahim ini dalam kehidupan kita sekarang?
Sebagai orang tua atau guru, tugas utama dalam membentuk karakter anak adalah menanamkan prinsip-prinsip tauhid dan akhlak dalam diri anak sedini mungkin. Ketika wahyu menyembelih diterima Ibrahim, Ismail saat itu baru berusia 13 tahun, seusia anak yang baru lulus SD. Dialog adalah cara terbaik mengajarkan hal ini seperti yang dicontohkan oleh Ibrahim. Ciptakan dialog-dialog tauhid dan karakter di rumah kita, di ruang makan, ruang istirahat, dan di kamar tidur anak. Bahkan dalam setiap kesempatan kita bersama anak.
Biasanya orang tua khawatir dengan perkembangan karakter anak, lalu dengan tergesa-gesa menyuruh kebaikan kepada anak dengan pendekatan doktrin atau bahkan intimidasi. Berikan kepercayaan kepada anak untuk menguji karakter mereka. Misalnya, sesekali biarkan anak berinternet untuk menguji bisakah anak menerapkan karakter yang telah dibangun di rumah saat ia berselancar di dunia maya.
Sesekali izinkan anak bermain ke luar rumah bersama temannya, untuk menguji bisakah anak menerapkan karakter peduli dan disiplin dalam pergaulan. Sesekali suruhlah anak melakukan sebuah tugas rumah, untuk menguji sepatuh apa kepada orang tua. Sesekali biarkan anak bersama adik-adiknya, untuk menguji karakter sayang dan tanggung jawab sebagai kakak. []
Sumber :