Oleh: Hafidz Abdurrahman
Penghinaan kepada Nabi terus dipertontonkan oleh kaum kafir. Setelah film Innocence of Muslim, majalah mingguan di Prancis, Charlie Habdo,
memuat kartun yang menistakan Nabi SAW. Penghinaan seperti ini bukan
kali pertama. September 2005, kartun yang menggambarkan Rasulullah SAW
sebagai sosok teroris dipublikasikan oleh koran Jyllands-Posten. Tahun berikutanya kartun Nabi berkalung sorban, dengan bom di kepala juga dimuat di beberapa koran di Eropa, France Soir di Prancis, Die Welt di Jerman, La Stampa di Italia dan El Periodico di Spanyol.
Ini bukti, bahwa negara-negara kaum Muslim, dan para penguasanya saat
ini telah gagal menjaga kemuliaan dan kesucian Nabi Muhammad SAW. Ini
juga membuktikan, bahwa negara dan penguasa kaum Muslim itu hanyalah
boneka negara kafir penjajah. Sekaligus membuktikan dengan kasat mata,
bahwa Islam dan umatnya membutuhkan negara dan penguasa yang kuat, dan
bisa melindungi kemuliaan dan kesucian Nabinya. Itu tak lain adalah
Negara Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah.
Bentuk Penghinaan
Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah, dalam bukunya As-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul (pedang yang terhunus untuk penghujat Rasul), telah menjelaskan batasan tindakan orang yang menghujat Nabi Muhammad SAW, “Kata-kata
yang bertujuan meremehkan dan merendahkan martabatnya, sebagaimana
dipahami kebanyakan orang, terlepas perbedaan akidah mereka, termasuk
melaknat dan menjelek-jelekkan” (Lihat, Ibn Taimiyyah, as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul, I/563).
Al-Qadhi ‘Iyadh, dalam kitabnya, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, menjelaskan bentuk-bentuk hujatan kepada Nabi SAW, ”Orang
yang menghujat Rasululah SAW adalah orang yang mencela, mencari-cari
kesalahan, menganggap pada diri Rasul SAW ada kekurangan, mencela nasab
(keturunan) dan pelaksanaan agamanya. Selain itu, juga menjelek-jelekkan
salah satu sifatnya yang mulia, menentang atau mensejajarkan Rasululah
SAW dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina,
mengkerdilkan, menjelek-jelekkan dan mencari-cari kesalahannya. Orang seperti ini termasuk orang yang telah menghujat Rasul SAW.” (Lihat, al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 428).
Hal senada juga dinyatakan oleh Kholil Ibn Ishaq al-Jundiy, ulama besar madzhab Maliki, “Siapa saja yang mencela Nabi, melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli dengan sifat yang bukan sifatnya,
menyebutkan kekurangan pada diri dan karakternya, merasa iri karena
ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya, menisbatkan hal-hal yang
tidak pantas kepadanya, mencela, dll.. maka hukumannya adalah dibunuh.” (Lihat, Kholil Ibn Ishaq al-Jundiy, Mukhtashar al-Kholil, I/251).
Masih menurut al-Qadhi ‘Iyadh, ketika seseorang menyebut Nabi SAW
dengan sifatnya, seperti “anak yatim” atau “buta huruf”, meski ini
merupakan sifat Nabi, tetapi jika labelisasi tersebut bertujuan untuk
menghina Nabi atau menunjukkan kekurangan Nabi, maka orang tersebut
sudah layak disebut menghina Nabi SAW. Sesuatu yang menyebabkan seorang
ulama sekaliber Abu Hatim at-Thailathali difatwakan fuqaha Andalusia
untuk dibunuh. Hal yang sama dialami oleh Ibrahim al-Fazari, yang
difatwakan oleh fuqaha Qairuwan dan murid Sahnun untuk dibunuh (Lihat,
al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 430).
Hukum dan Sanksi
Bagi orang Islam, hukum menghina Rasul jelas-jelas haram. Pelakunya
dinyatakan Kafir. Adapun sanksi bagi pelakunya adalah hukuman mati.
Al-Qadhi ‘Iyadh menuturkan, bahwa ini telah menjadi kesepakatan di
kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan
seterusnya. Ibn Mundzir menyatakan, bahwa mayoritas ahli ilmu sepakat
tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi SAW adalah hukuman mati.
Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Ishaq bin Rahawih dan Imam as-Syafii (Lihat, al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 428).
Al-Qadhi ‘Iyadh kembali menegaskan, bahwa tidak ada perbedaan di
kalangan ulama kaum Muslim tentang halalnya darah orang yang menghina
Nabi SAW. Meski sebagian ada yang memvonis pelakunya sebagai orang
murtad, tetapi kebanyakan ulama menyatakan pelakunya kafir, bisa
langsung dibunuh, dan tidak perlu diminta bertaubat serta tidak perlu
diberi tenggat waktu tiga hari untuk kembali ke pangkuan Islam. Ini
merupakan pendapat al-Qadhi Abu Fadhal, Abu Hanifah, as-Tsauri,
al-Auza’i, Malik bin Anas, Abu Mus’ab dan Ibn Uwais, Ashba’ dan
‘Abdullah bin al-Hakam. Bahkan, al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, ini
merupakan kesepakatan para ulama (Lihat, al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 428-430).
Al-Khatthabi menyatakan, “Saya tidak tahu ada seorang (ulama) kaum Muslim yang berbeda pendapat tentang wajibnya hukuman mati (bagi pencela Rasulullah SAW).” (Lihat, Ibn Taimiyyah, as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul, I/9). Allah berfirman, “Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, “Nabi
mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah, “Ia mempercayai
semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai
orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di
antara kamu”. Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu bagi mereka
azab yang pedih. Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang Mukmin.
Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui, bahwasanya barang
siapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka
Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang
besar. Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan
terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di
dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya).”
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu
mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu
minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan
segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan
mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 61-66).
Ayat di atas dengan tegas menyatakan, bahwa orang yang mengolok-olok
Allah SWT, ayat-ayat-Nya serta rasul-Nya dinyatakan kafir. Terlebih lagi
(min babil aula), bila secara sengaja mencela, menjelek-jelekkan, menuduh, menistakan dan sejenisnya, maka tindakan tersebut nyata kufur.
Selain itu, ada beberapa hadits yang terkait dengan masalah ini. Di
antaranya riwayat Abu Dawud dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra,
yang menyatakan, “Ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan
menjelek-jelekkan Nabi SAW (oleh karena perbuatannya itu), maka
perempuan itu telah dicekik sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata
Rasulullah SAW menghalalkan darahnya.” (HR Abu Dawud). Sanad hadis ini dinyatakan jayyid (baik) oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, dan termasuk sejumlah hadits yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad (Lihat, as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul, III/59).
Hadits ini juga memiliki syahid, yakni hadits riwayat Ibn
Abbas yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki buta yang istrinya
senantiasa mencela dan menjelek-jelekkan Nabi SAW. Lelaki itu berusaha
melarang dan memperingatkan agar istrinya tidak melakukannya. Sampai
pada suatu malam istrinya mulai lagi mencela dan menjelek-jelekkan Nabi
SAW. Merasa tidak tahan lagi lelaki itu lalu mengambil kapak kemudian
dia tebaskan ke perut istrinya dan dia hunjamkan dalam-dalam sampai
istrinya itu mati. Keesokan harinya, turun pemberitahuan dari Allah SWT
kepada Rasulullah SAW yang menjelaskan kejadian tersebut. Pada hari itu juga Nabi SAW mengumpulkan kaum Muslim dan bersabda, “Dengan menyebut asma Allah, aku minta orang yang melakukannya, yang sesungguhnya tindakan itu adalah hakku, berberdirilah!” Kemudian (kulihat) lelaki buta itu berdiri dan berjalan dengan meraba-raba sampai dia berada di hadapan Rasulullah SAW. Kemudian ia duduk seraya berkata, ”Akulah suami yang melakukan hal tersebut ya Rasulullah SAW.
Kulakukan hal tersebut karena ia senantiasa mencela dan
menjelek-jelekkan dirimu. Aku telah berusaha melarang dan selalu
mengingatkannya, tetapi ia tetap melakukannya. Dari wanita itu, aku
mendapatkan dua orang anak (yang cantik) seperti mutiara. Istriku itu
sayang kepadaku. Tetapi kemarin ketika ia (kembali) mencela dan
menjelek-jelekkan dirimu, lantas aku mengambil kapak, kemudian
kutebaskannya ke perut istriku dan kuhunjamkan kuat-kuat ke perut
istriku sampai ia mati.” Tindakan lelaki ini dibenarkan oleh Nabi SAW.
Inilah ketentuan yang berlaku terhadap seorang Muslim yang menghina Nabi. Namun, jika pelakunya kafir dzimi,
maka perjanjian dengan mereka otomatis batal, pelakunya diberlakukan
hukuman mati. Kecuali, menurut sebagian fuqaha, jika mereka masuk Islam.
Namun dalam kontek ini keputusan ada di tangan Khalifah, apakah
keislamannya bisa diterima atau tetap diberlakukan hukuman mati sebagai
pelajaran bagi orang-orang kafir yang lain.
Sedangkan terhadap kafir harbiy, maka hukum asal perlakuan terhadap mereka adalah perang (qital).
Siapapun yang melakukan pelecehan terhadap Rasulullah SAW akan
diperangi. Inilah ketentuan yang seharusnya dilakukan negara atau
penguasa kaum Muslim hari ini menghadapi penghinaan kepada Nabi SAW yang
dilakukan oleh orang kafir, warga AS maupun yang lain itu. Dengan
begitu, segala bentuk penistaan terhadap Nabi akan bisa dihentikan.
Hanya saja, ini membutuhkan seorang Khalifah yang memiliki ketegasan,
keberanian, serta taat kepada Allah SWT. Karena Khalifahlah yang secara
nyata akan menghentikan semua penghinaan itu, serta melindungi
kehormatan Islam dan umatnya, sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh
Khalifah Abdul Hamid II terhadap Prancis dan Inggris yang hendak
mementaskan drama karya Voltaire, yang menghina Nabi Muhammad SAW. []
Sumber: mediaumat.com (8/10/2012)
http://hizbut-tahrir.or.id (12/4/2013)
Baca juga :