[ MENUNTUT ILMU LEBIH PENTING
DARI MAKAN DAN MINUM ]
KH Abu Jibriel
KH Abu Jibriel
Para ulama menetapkan bahwa syarat syahnya suatu amalan adalah ikhlas dan ittiba' (mengikuti). Bagaimana ittiba' bisa berlangsung—disinilah pentingnya peran ilmu. Mana mungkin seseorang bisa mengikuti, sementara ia tidak tahu siapa dan apa yang harus diikutinya… Sementara Rasulullah saw bersabda,
Artinya, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahku, maka amalan itu tertolak."(HR. Muslim)
Dengan ilmu, manusia bisa memperoleh pengetahuan akan cara hidup yang harus dijalaninya, memperoleh pengetahuan tentang apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk bagi dirinya, mengetahui kesempatannya untuk bisa memperoleh derajat kemuliaan di sisi sang Kholik, bahkan dengan ilmu ia bisa merasakan kehadiran Allah Ta'ala mengawasi dirinya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
Artinya, "Manusia itu lebih membutuhkan ilmu daripada makan dan minum, karena seseorang itu butuh makan dan minum sekali atau dua kali sehari, sedangkan ilmu itu dibutuhkan setiap kali hembusan nafasnya." (kitab Madarijus Salikin)
Rasulullah saw juga pernah menegaskan tentang keutamaan ilmu bagi seseorang,
Artinya, "Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya ia menjadi baik, maka Dia memberinya pemahaman terhadap agama (al-Qur'an dan as-Sunnah)." (HR. Bukhari)
Banyaknya pernyataan dari Allah Ta'ala yang menunjukkan tingginya derajat ilmu diantaranya yaitu bahwa posisi orang yang berilmu dibanding semua manusia adalah bak bulan purnama diantara bintang-gemintang, ia mendapatkan penghormatan dari para malaikat yang menundukkan sayapnya, serta beroleh pertolongan untuk dimintakan-ampunan dari binatang, tetumbuhan, bahkan benda-benda mati disekitarnya.
Allah Ta'ala berfirman,
Artinya, "Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur'an dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)." (QS. al-Baqarah, 2 : 269)
Oleh karena itulah, hanya dengan ilmu—kemuliaan dapat diperoleh. Tentu saja ilmu yang mendapat jaminan kemuliaan bagi pemiliknya adalah ilmu dien atau ilmu syari'at, yang berguna untuk mengetahui segala yang diwajibkan dan segala yang diharamkan kepada muslim yang mukallaf. Ilmu juga merupakan warisan yang paling berharga yang ditinggalkan oleh para nabi dan rasul bagi umatnya sehingga para ulama dan orang-orang berilmu adalah orang-orang yang paling beruntung karenanya. Maka sudah seyogyanya kita selalu memohon kepada Allah Ta'ala agar diberikan kemudahan dalam memperoleh ilmu serta memahamkannya. Allah Ta'ala telah mengajarkan dalam firman-Nya,
Artinya, "…dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha, 20 : 114)
Hal penting kemudian adalah mencari wasilah untuk diperolehnya ilmu yang telah dimohonkan tersebut. Begitu banyak kisah yang bisa kita ketahui bahwa para nabi dan rasul memiliki perjalanan yang panjang dalam usahanya memperoleh ilmu, demikian pula para sahabat, para tabi'in, para tabi'ut-tabi'in, hingga para ulama saat ini. Semuanya berikhtiar dengan segenap kemampuan yang ada.
Lalu bagaimanakah dengan kita sendiri? Apakah yang sudah kita peroleh selama ini?
Sebagian besar mungkin sudah merasa cukup dengan perolehan yang ada, bahkan tak sedikit yang merasa puas karena sudah dilahirkan oleh orang-tua yang muslim. Memang benar, islamnya kita karena keturunan merupakan anugrah yang patut disyukuri—namun modal dasar yang kita sudah miliki tersebut tetap harus ditingkatkan karena ia perlahan bisa memudar bahkan lenyap karena tak pernah disuburkan dengan ilmu.
Para ulama terdahulu memiliki ghiroh luar-biasa terhadap ilmu. Mereka berkemauan keras demi tercapainya ilmu. Melalui perjalanan yang tak sebentar, dengan harta yang mereka habiskan hingga menjadi miskin karenanya, dan dengan menemui begitu banyak orang shalih yang mempunyai kecakapan ilmu yang hidup di zaman mereka.
Rasulullah saw bersabda,
Artinya, "Bahwasanya siapa yang melalui suatu jalan dalam menuntut ilmu, maka akan dimudahkan baginya jalan ke surga…" (Shahih al-Jami' no. 1727)
Manshur bin Ammar al-Khurasani, dalam kitab Al-Muhadditsul Fasil Baina Arraawi wal Waa'i (hal. 220-221), mengatakan tentang orang-orang yang mencari ilmu bahwa mereka keluar dari satu negeri ke negeri yang lain, menelusuri setiap lembah, kusut rambutnya, lusuh bajunya, kempis perutnya, kering bibirnya, dan kurus badannya untuk mencari ilmu. Mereka hanya punya satu impian, yaitu keridhaan pada ilmu. Tidak menghalangi mereka rasa lapar dan dahaga, serta semangat mereka tidak pernah lekang oleh cuaca panas ataupun dingin. Mereka membedakan hadits yang shahih dengan yang dha'if dengan pengetahuan yang kuat, pemikiran yang cemerlang, serta hati yang siap untuk menerima kebenaran. Maka amanlah mereka dari kerancuan dan hal-hal yang dibuat-buat orang dan dari kebohongan para pendusta.
Mereka mengembara mencari ilmu di siang-siang yang panas dan menghidupkan malam dengan menuliskan ilmu yang telah mereka dapatkan. Umur mereka pun habis dalam menekuni ilmu, terlebih kesenangan mereka terhadap dunia yang semakin tak menjadi prioritas. Dunia bagi mereka adalah hari-hari yang berlalu, yang apabila tanpa dihiasi dengan ilmu hanya merupakan kesia-siaan yang bisa mendatangkan kebinasaan bagi manusia.
Imam Syafi'i rahimahullah berkata dalam kitab Syafahat min Shabril ulama', "Tidak sesuai orang yang menuntut ilmu, kecuali bagi orang yang siap miskin." Beliau juga berkata, "Tidak mungkin menuntut ilmu, orang yang pembosan dan sering berubah pikiran serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi, menuntut ilmu dengan menahan diri, dengan kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut, maka dengan itu ia akan beruntung."