CARA MENGUBAH MASYARAKAT
Pengubahan masyarakat diperlukan pengubahan unsur-unsur yang menyusun
masyarakat yaitu pemikiran, perasaan, dan aturan yang diterapkan di
tengah-tengah masyarakat. Sedangkan al afraad (individu-individu), tidak
ada seorang pun yang mampu mengubahnya. Sebab, secara fitri, fisik
manusia tidak berpengaruh terhadap suluk (perilaku) seseorang.
Proses perubahan masyarakat itu seperti proses mengubah sebuah gelas
bening yang berisi air yang berwarna tertentu dan kita ingin mengubahnya
menjadi warna
yang lain. Warna gelas itu akan terlihat sebagaimana warna air yang ada
di dalam gelas tersebut. Jika airnya berwarna merah, maka gelas bening
tersebut akan terlihat berwarna merah. Jika warna air adalah hijau, maka
gelas bening itu akan terlihat berwarna hijau. Jika kita menginginkan
perubahan, maka kita harus menumpahkan seluruh air tersebut kemudian
kita menggantinya dengan air baru yang kita inginkan. Bukan dengan cara
memasukkan cairan lain ke dalamnya.
Begitulah perubahan masyarakat dengan perubahan totalitas (kaaffah)
sampai akar-akarnya, maka berubahlah warna masyarakat. Berdasarkan hal
tersebut, maka cara untuk melakukan perubahan masyarakat adalah mencabut
seluruh mafaahim (pandangan hidup) masyarakat, dan menggantinya dengan
pemahaman baru yang kita inginkan.
TAHAP PERTAMA: MEMBENTUK PRIBADI ISLAMI DENGAN PEMBINAAN
Tahap pertama yang dilakukan terhadap masyarakat adalah mengubah
akidah masyarakat. Masyarakat memang telah memeluk Islam dan berakidah
Islam, namun akidah itu telah terkotori oleh pemahaman asing yang
sebelumnya tidak pernah dikenal oleh Islam. Pemahaman mereka harus
benar-benar diubah. Akidah sekuler harus diganti total dengan akidah
Islam. Mereka harus dijelaskan tentang konsep ilahiyah (ketuhanan)
secara benar, sehingga tidak terjadi kontradiksi dalam diri mereka.
Mereka harus dijelaskan tentang hakikatnya sebagai manusia, yaitu
bahwa mereka (masyarakat) adalah sekumpulan manusia yang diciptakan oleh
Allah. Oleh karena itu, masyarakat harus dijelaskan tentang hakikat
keberadaan Sang Pencipta (Al Khalik). Selanjutnya, masyarakat harus
dijelaskan tentang tujuan diciptakannya manusia di dunia. Dan masyarakat
juga harus dijelaskan tentang keberadaan kehidupan sesudah kematian;
apakah berakhir baik (surga) atau berakhir buruk (neraka). Jika mau ke
surga, bagaimana cara meraihnya; dan jika ke neraka, bagaimana jalannya.
Inilah penjelasan tentang akidah Islam yang sahih.
Semua ini ditempuh berdasarkan metode dakwah Rasulullah saw., yang
menghancurkan akidah jahiliyah dan menggantinya dengan akidah Islam. Apa
yang dilakukan Rasulullah saw. ternyata berhasil. Beberapa orang yang
diseru pun akhirnya mau menerima Islam dan mencampakkan mafaahim
jahiliyah yang selama ini mereka anut. Di antara mereka ada Khadijah
radhiyallahu ‘anha, ada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, teman beliau. Ada
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu dari kalangan budak, hingga Ali bin
Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dari kalangan anak kecil. Hal yang
dilakukan Rasulullah, ternyata juga dilakukan oleh ‘hasil binaan’
beliau. Bahkan dari dakwah yang dilakukan Abu Bakar telah masuk Islam
beberapa tokoh Makkah, di antaranya Utsman bin Affan ra, bersama dengan
Zubair bin Awwam ra, Abdurrahman bin Auf ra, Sa’ad bin Abi Waqqash ra,
dan Thalhah bin Ubaidillah ra.
Semakin kuat dakwah yang dilakukan Rasulullah, semakin kuat pula
goncangan pemikiran di tengah-tengah masyarakat Quraisy jahiliyah.
Hingga akhirnya Amir bin Al Jarrah (Abu Ubaidah) masuk Islam. Tidak
hanya itu, ternyata masuk Islam pula Abdullah bin Abdul Asad ra. atau
Abu Salamah, Bilal bin Rabbah Al Habsy ra., Arqam bin Abi Arqam ra,
Utsman bin Mazh’un ra, dan sebagainya. Jumlah orang-orang yang masuk
Islam semakin bertambah banyak, sehingga Islam mulai menjadi bahan
pembicaraan masyarakat Quraisy.
Demikianlah proses pertama dalam upaya mengubah masyarakat. Yaitu
dengan mengganti secara total. Apanya yang secara total? Yaitu total
pemikirannya maupun total teknis pelaksanaannya. Total pemikirannya,
maksudnya adalah dengan menolak semua pemahaman kufur yang berlawanan
dengan Islam. Sedangkan total teknis pelaksanannya, artinya tidak
menyatu ke dalam sistem kufur dan menerima konsep kufur yang ada.
Pemahaman seperti inilah yang paling sesuai dengan analogi cara mengubah
isi gelas sebagaimana dijelaskan di atas.
TAHAP KEDUA: INTERAKSI DALAM MASYARAKAT
Setelah masyarakat dijelaskan tentang kerusakan mafaahim yang lama
dan dijelaskan pula tentang mafaahim baru, yaitu Islam, maka tahap
selanjutnya adalah terjadinya interaksi di dalam masyarakat.
Pada tahap pertama dan tahapan kedua ini tidak ditandai oleh suatu
peristiwa tertentu, melainkan akan berlangsung secara alami (nature).
Sebab, ketika akidah Islam sudah menyatu dalam diri seseorang, maka
akidah itu akan mendorong dirinya untuk bergerak mendakwahkan akidah
tersebut. Maka semua tahapan ini akan berlangsung secara alami.
Tahap interaksi ini adalah tahap pertarungan ideologi masyarakat
yaitu pemahaman (mafaahim) baru yang akan menggantikan mafaahim yang
sebelumnya. Pada tahapan ini akan terjadi dua proses pemahaman, yang
pertama adalah membongkar pemahaman-pemahaman salah yang selama ini
dianut masyarakat dan yang kedua adalah menjelaskan kebaikan ideologi
Islam yang akan menggantikan pemahaman mereka sebelumnya.
Pada proses pertama, masyarakat harus dijelaskan tentang
keburukan-keburukan atau kejelekan sistem atau ideologi yang dianutnya
saat itu. Masyarakat harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa
mafaahim yang selama ini mereka anut adalah mafaahim yang rusak. Kita
harus menunjukkan bukti-bukti keburukan yang ditimbulkannya. Kita harus
menjelaskan keburukan ide demokrasi, HAM, nasionalisme, sosialisme,
kapitalisme, komunisme, maupun sekulerisme. Proses pemahaman harus
berlangsung sedemikian rupa hingga masyarakat benar-benar menyadari
kesalahan mereka karena telah mengadopsi pemikiran kufur tersebut.
Kemudian setelah itu masyarakat harus dijelaskan tentang ideologi
Islam dan kebaikan-kebaikannya. Masyarakat harus dipahamkan bagaimana
metode Islam dalam menyelesaikan seluruh problem kehidupan. Masyarakat
harus dipahamkan tentang Islam sebagai solusi, bukan sebagai ajaran
moral ritual. Islam harus dipahamkan kepada masyarakat. Masyarakat harus
dipahamkan bahwa Islam satu-satunya solusi, bukan demokrasi atau yang
lainnya. Proses pemahaman ini harus benar-benar menyentuh ke dalam diri
setiap individu masyarakat hingga akal mereka terpuaskan dan hati mereka
tenteram karenanya.
Jika kedua langkah ini dijalankan dengan baik, maka masyarakat akan
goyah. Minimal mereka (masyarakat) akan berpikir ulang untuk memakai
kembali pemahaman salah yang selama ini mereka anut. Akan terjadi
kemelut dalam diri setiap individu tentang kabar yang baru saja mereka
terima. Akan memilih Islam atau tetap dalam mafaahim kufur yang selama
ini mereka anut.
Inilah yang disebut dengan shira’ul fikr atau pertarungan pemikiran;
antara pemikiran kufur masyarakat dengan pemikiran Islam yang akan
menggantikannya. Hal seperti ini pernah ditempuh Rasulullah saw. ketika
mendakwahkan Islam di Makkah sebelum tegaknya masyarakat Islam di
Madinah. Dan mulailah Rasulullah berdakwah dengan terang-terangan serta
memulai al-Kifaah asy-Siyaasi (interaksi/perjuangan politik), dengan
menjelaskan kelemahan penyembahan tuhan-tuhan orang Quraisy dan
menunjukkan kebodohan pemikiran mereka, serta mengingatkan bahwa
aktivitas mereka adalah jelek atau buruk (perilaku-perilaku jaihiliyah).
Melalui ayat-ayat Allah, Nabi saw. menjelaskan keburukan ide mereka.
Beliau menghinakan ide-ide orang jahiliyah hingga hati mereka pun panas.
Begitu pedas kritik dari Rasulullah saw. hingga ke taraf yang sangat
menyakitkan mereka. Kepada mereka Rasulullah menyerukan ayat Allah,
“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah
umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS. Al Anbiya: 98)
Bahkan kepada pamannya sendiri beliau katakan,
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. Al Lahab: 1)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. Al Lahab: 1)
Kerasnya serangan Rasulullah dan para sahabat beliau membuat orang
Quraisy gerah. Maka para pemimpin Quraisy mendatangi Abu Thalib (paman
Rasulullah saw.) untuk mengadu dan membujuk agar keponakannya itu
menghentikan dakwahnya. Bahkan jika mau, Rasulullah akan diberikan
kedudukan, jabatan, dan harta, serta akan diangkat sebagai pemimpin
mereka, asalkan mau untuk berhenti mendakwahkan Islam.
Namun ketika Abu Thalib menyampaikan bujukan para pemimpin Quraisy
kepada kepada Rasulullah, beliau menjawab: ”Wahai pamanku, demi Allah
jikalau mereka meletakkan matahari pada tangan kananku dan bulan pada
tangan kiriku, untuk meninggalkan agama ini, aku tidak akan
meninggalkannya, sampai Allah akan menunjukkan kemenangan agama ini atau
aku hancur karenanya.”
Sikap yang teguh hati dan mantap ini menjadikan Abu Thalib berkata:
“Pergilah dan laksanakanlah hai anak saudaraku (Muhammad) dan katakanlah
apa yang kamu senangi (berdakwahlah sekehendakmu) maka aku akan
menjagamu dari gangguan selama aku masih hidup.”
Orang Quraisy berusaha dengan beragam cara untuk menghentikan dakwah
Islam, maka ditempuhlah cara black campaign (stigma negatif). Walid bin
Mughirah (salah seorang tokoh masyarakat Quraisy) menyebarkan berita
bahwa Muhammad itu penyihir dan Muhammad itu pemecah belah kesatuan
masyarakat Quraisy. Intinya, Muhammad itu dinilai hanya ngerecoki orang
Quraisy, dan lain-lain. Yang lebih parah lagi dikatakan bahwa ajaran
Muhammad telah memisahkan nasab sebuah keluarga. Misalnya dikatakan
bahwa ajaran Muhammad telah memisahkan anak dengan orang tuanya, isteri
dengan suaminya, dan sebagainya.
Hal seperti akan ditemui setiap pengemban dakwah pada masa sekarang.
Mereka akan mendapatkan stigma negatif (black campaign) dari pihak-pihak
yang tidak menyukainya. Mereka dikatakan omdo (omong doank), NATO (No
Action Talk Only), dan sebagainya. Mereka dikatakan memecah belah
kesatuan bangsa, mereka dikatakan berbahaya bagi negara, dan sebagainya.
Ini semua merupakan sebuah keniscayaan. Dan apa yang terjadi pada masa
Rasulullah, niscaya terulang pada masa sekarang.
Tetapi dakwah Islam dengan pengemban dakwahnya yang tangguh (yaitu
para sahabat), pantang menyerah dan tetap menyebarkan Islam ke daerah
Arab. Bahkan, walaupun Rasulullah dilempari dengan berbagai macam
julukan jelek seperti tukang sihir, orang gila, pembual, dan lainnya,
dakwah tetap tidak pernah mundur.
Pada suatu saat orang musyrikin bertanya kepada nabi: “Apakah kamu
yang mengatakan begini dan begitu kepada sesembahan kami dan agama
kami?” Rasulullah menjawab: “Betul saya yang mengatakan itu.” Maka
dengan marah orang musyrik itu bergerak mau membunuh Rasulullah. Tetapi
dengan sigap Abu Bakar menghalanginya dan berkata: “Apakah kamu akan
membunuh seseorang yang mengatakan tuhanku adalah Allah?”
Rasulullah saw. juga diuji oleh mereka (orang Quraisy) dengan
perintah agar Allah membuatkan sungai seperti sungai Syam atau Iraq dan
menghidupkan nenek moyangnya yang telah mati, serta membuatkan sebuah
istana agar Allah memberikan rezeki mereka (harta emas dan perak) yang
diturunkan dari langit. Maka Rasulullah saw. menjawab, “Aku diutus bukan
untuk urusan seperti yang kamu minta, akan tetapi aku diutus untuk
menyampaikan risalah ini kepada kamu sekalian, maka jika kamu menerima
ini maka berarti inilah keuntunganmu di dunia dan di akhirat, akan
tetapi jika kamu menolak, kita tunggu saja sampai Allah mengadili kita
semua.” Jawaban Rasulullah benar-benar tegas.
Intinya, pada tahapan ini, hampir semua hal akan dijumpai. Dari
cobaan yang paling ringan hingga yang paling berat sekali pun. Pada
tahapan inilah, pertarungan ideologi benar-benar akan diuji, dan setiap
pejuang akan menunggu, siapakah pemenangnya.
TAHAP KETIGA: PENEGAKKAN NEGARA ISLAM DAN PEMBERLAKUAN HUKUM
Tahapan ini adalah tahapan akhir dari pembentukan masyarakat Islam.
Tahapan ini akan terjadi dengan sendirinya, ketika kondisi masyarakat
secara umum benar-benar telah menginginkan diterapkannya ideologi
(mafaahim) Islam secara total. Apa yang dimaksud dengan kondisi itu?
Kondisi yang dimaksud adalah suatu keadaan yang secara positif siap
diterapkannya mafaahim Islam. Misalnya, jika mayoritas rakyat sudah
menghendaki diterapkannya mafaahim Islam sehingga tidak ada peluang lagi
bagi kaum sekuler untuk menentang. Atau, suatu kondisi dimana
unsur-unsur masyarakat pemegang kendali kekuatan (pemilik media massa,
mayoritas pengusaha, mayoritas intelektual, kaum ulama, kaum buruh, kaum
militer, mayoritas PNS, dan lain-lain) telah menguasai keadaan suatu
negara hingga tidak ada kesempatan sedikit pun bagi kaum sekuler untuk
menghalangi tegaknya mafaahim Islam. Jika sudah seperti ini, maka itulah
saatnya mafaahim Islam diterapkan dan masyarakat Islam akan segera
terbentuk.
Menerapkan mafaahim Islam, adalah sebuah proses politik. Maka usaha
(amal) yang dilakukan juga haruslah amal politik. Tidak mungkin sebuah
urusan politik tetapi ditempuh dengan cara-cara nonpolitik. Oleh karena
itu, harus ada unsur-unsur politik yang kuat, yang mampu melindungi dan
mendukung usaha tegaknya mafaahim Islam ini. Unsur politik yang paling
kuat itu tidak lain adalah kalangan militer. Dengan menyatunya kalangan
militer bersama para pengamban dakwah ideologis, maka pintu memasuki
masyarakat Islam tidak akan lama lagi akan terbuka.
Mengapa para pemilik kekuatan dari kalangan militer ini penting dalam
rangka mengubah masyarakat? Sebab, kebenaran Islam ini tidak begitu
saja diterima oleh sebagian masyarakat, umumnya kaum sekuler yang tidak
menghendaki mafaahim Islam diterapkan sebagai sebuah ideologi negara.
Oleh karena itu, perjuangan mengubah masyarakat ini juga harus diimbangi
dengan proses memahamkan mafaahim Islam kepada kalangan militer. Proses
pencarian dukungan para kalangan militer inilah yang disebut dengan
thalabun nushrah.
Proses ini juga pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Pada saat itu
masyarakat Makkah sudah terlalu kental dengan pemikiran kufur dan
perlawanan mereka terhadap dakwah Rasulullah sangat keras. Maka Rasul
meminta pertolongan (thalabun nushrah) untuk melindungi dakwah dan
rencana pendirian daulah Islam (tegaknya mafaahim Islam) kepada
kabilah-kabilah lain yang ada di Makkah dan orang yang pergi ke Makkah
pada musim haji. Namun demikian, ternyata Allah telah menyiapkan
rencana-Nya, yaitu dukungan kekuatan datang dari kaum Aus dan Khazraj
yang ada di Yatsrib (madinah), yang penduduknya menerima Islam dan
memberikan pertolongan kepada Rasulullah saw. pada Bai’at ‘Aqabah kedua.
Kemudian Rasul dan sahabatnya hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah
Islamiyyah di sana. Inilah saat-saat tegaknya masyarakat Islam pertama
kali, dimana afkaar Islam, masyaair Islam, dan nizham Islam ditegakkan.
KESIMPULAN
Tiga tahapan di atas berlaku untuk dakwah Islam dalam menciptakan
masyarakat Islam. Inilah thariqah syar’iyyah (metode syar’i) dalam
memulai kehidupan yang Islami. Maka seorang pengemban dakwah yang ingin
mengubah masyarakat wajib memahami hakikat masyarakat dan paham
bagaimana cara mengubahnya.
Rasul adalah seorang individu di dalam masyarakat Makkah. Beliau
diberikan oleh Allah penghayatan totalitas terhadap Islam. Dengan kata
lain, Islam telah menjasad dalam dirinya baik fikrah maupun thariqahnya,
maka jadilah beliau seorang yang mempunyai jenis pemikiran yang bersih
dan suci dan nampaklah thariqahnya jelas dan lurus.
Sehingga seseorang yang mempunyai pemahaman Islam ini, tidak akan
tinggal diam untuk selalu bergerak mendakwahkan Islam kepada masyarakat.
Karenanya dakwah haruslah terbentuk di dalam sebuah kelompok atau
kutlah (group) yang tersusun dari satu jaringan.
Penopang kutlah tersebut adalah manusia, fikrah, dan thariqah. Dengan
adanya unsur-unsur tersebut, maka ketika ada penyakit dalam diri kutlah
tersebut, tentu akan segera terdeteksi dan diambil cara penyembuhannya.
Dan Allah-lah sebaik-baik penyembuh. Oleh karena itu, setiap individu
penyeru dakwah Islam itu harus benar-benar memiliki kepribadian
(syakhshiyah) Islam yang baik sehingga dia dan kutlah yang diikutinya
akan sehat dan benar-benar siap untuk mendakwahkan Islam.
Wallahu a’lam.
Sumber :http://inqisaria.wordpress.com