MENGGAPAI HAJI MABRUR
(Dengan Memahami Filosofi Ibadah Haji)
Jamaah shalat Ju’mat yang dimuliakan Allah,
Marilah kita tingkatkan Iman dan taqwa kita kepada Allah SWT, karena
hanya dengan taqwa kita akan mendapatkan ampunan, pertolongan, dan
surga-Nya yang agung. Taqwa sendiri di definisikan oleh para ‘Ulama’
dengan Ta’rif “Imtisalul Awamir, Wajtinabun Nawahi” yakni menjalankan
segala perintah dari Allah SWT, dan menjauhi segala larangan dari Allah
SWT.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Kita sekarang
ini berada pada bulan Dzulqa’dah bulan kesebelas dari bulan Qamariyah,
satu dari empat bulan yang disebut dengan bulan-bulan haram اشهرالحرم
dan satu dari tiga bulan haji yang disebut dengan أشهر معلومات di sebut
Dzulqa’dah adalah karena :
يَقْعُدُوْنَ فِيْهِ عَنِ اْلأَسْفَارِ وَالْقِتَالُ اِسْتِعْدَادًا لإِحْرَامٍ بِالْحَجِّ
“Mereka duduk (tinggal di rumah) tidak melakukan perjalanan maupun peperangan sebagai persiapan untuk melakukan ihram haji”.
Pada hari ini kita saksikan bersama persiapan dan pemberangkatan para
jamaah calon haji. Kita rasakan bersama betapa kebahagiaan telah
menghiasi wajah mereka dan sejuta harapan telah tertanam di dalam lubuk
hati mereka, manakala saudara-saudara kita tersebut meninggalkan kampung
halamannya terbang menuju kiblat umat Islam sedunia, memenuhi panggilan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak ada ibadah seagung ibadah
haji, tidak ada suatu agama pun yang memiliki konsep ibadah seperti
konsep ibadah haji agama Islam. Haji mengandung seribu makna, merangkum
sejuta hikmah. Karena itu haji merupakan rukun islam atau tiang kelima
dari kelima pilar utama dalam Islam.
Di lihat dari sebutannya
saja, ibadah ini sudah unik. Betapa tidak, al-Allamah Abu Abdillah
Muhammad bin Abdir Rahman al-Bukhari al-Hanafi al-Zahid (546 H)
menjelaskan, “Haji adalah bermaksud (berkeinginan dan bersengaja),
dengan maksud dan niat, keduanya menghantarkan seseorang menuju
cita-cita, niat adalah amal yang paling mulia karena ia adalah pekerjaan
anggota tubuh yang paling utama yaitu hati, manakala ibadah ini adalah
ibadah yang paling besar dan ketaatan yang paling berat maka disebut
ibadah yang paling utama yaitu al-hajj yang berarti al-qashdu (tujuan).
Tatkala seorang haji tiba di depan Ka’bah, dan sebelumnya dia sudah
mengetahui bahwa pemilik rumah (Ka’bah) yaitu Allah SWT tidak berada di
dalam sana, karena Allah SWT adalah Dzat yang tidak bertempat
sebagaimana makhluk yang memerlukan tempat, maka jama’ah haji berputar
mengelilingi Ka’bah yang disebut dengan Thawaf, hal ini meng-isyaratkan
bahwa Ka’bah bukanlah maksud dan tujuan. Tetapi tujuannya adalah
pemilik rumah رب الكعبة yakni tiada lain Allah SWT.
Begitu pula
ketika jama’ah haji mencium Hajar Aswad yang berarti batu berwarna
hitam, bukan berarti bertujuan menyembah batu, melainkan karena
mengikuti Sunnah Rasul. Karena beliaulah yang mencontohkan kita untuk
melakukan yang demikian. Inilah pembeda antara musyrik dan muslim. Dulu
orang musyrik zaman jahiliyyah mencium Hajar Aswad karena bertujuan
menyembah batu.
Tetapi sekarang Muslim mencium Hajar Aswad demi
mengikuti Sunnah Rasul yang diantara hikmahnya adalah seperti apa yang
dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiallaahu Anhu, “Hajar Aswad adalah
bagaikan tangan kanan Allah di muka bumi ini. Maka barangsiapa yang
menjabatnya (menyentuhnya) atau menciumnya maka seolah-olah (bukan
sebenarnya, tapi seolah-olah) ia menjabat (tangan) Allah dan mencium
tangan kanan-Nya.” Artinya adalah mengharap Ridho dari Allah SWT.
Oleh Karena itu, ketika menyentuh Hajar Aswad seorang jama’ah haji
harus mengingat bahwa ia sedang berbai’at kepada Allah (pencipta dan
pemilik batu yang telah memerintahkan untuk menyentuhnya). Berbai’at
untuk selalu taat dan tunduk kepada-Nya, dan harus ingat barang siapa
yang menghianati bai’at maka ia berhak mendapatkan murka dan adzab
Allah. Na’udzubillahi Mindzalik.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah.
Karena tujuan kita bukan البيت ka’bah tetapi رب البيت Allah pemilik
Ka’bah dan karena unsur niat begitu utama dan penting maka Allah
berfirman,
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ.
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah”
Karena itu pulalah para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi
calon haji adalah bertaubat. Bertaubat dari semua dosa dan maksiat,
baik calon haji itu seorang petani, pegawai, polisi, artis, dokter,
anggota dewan, menteri maupun seorang presiden sekalipun, laki-laki
maupun perempuan, tua maupun muda. Semuanya harus melakukan Taubatan
Nasuha yakni meminta ampun, menyesali segala perbuatan dosa yang pernah
ia lakukan dan berjanji kepada Allah tidak akan pernah mengulanginya
lagi.
Inilah yang di isyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa” (Al-Baqarah: 197).
Tentu saja kita sudah memaklumi bahwa taqwa itu tidak bisa dicapai
kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan segala jenis perbuatan
maksiat. Kalau calon haji sudah bertaubat, maka ia akan mampu memahami
dan menjiwai syiar haji yang teramat indah itu.
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ
Ia akan menghayati kalimat Talbiyah tersebut, seolah-olah berucap: “Ya
Allah aku datang, aku datang, memenuhi panggilan-Mu, lalu aku berdiri di
depan pintu-Mu. Aku singgah di sisi-Mu. Aku pegang erat kitab-Mu, aku
junjung tinggi aturan-Mu, maka selamatkan aku dari adzab-Mu, kini aku
siap menghamba kepada-Mu, merendahkan diri dan berkiblat kepada-Mu.
Bagi-Mu segala ciptaan, bagi-Mu segala aturan dan perundang-undangan,
bagi-Mu segala hukum dan hukuman tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku tidak
peduli berpisah dengan anak dan istriku, meninggalkan profesi dan
pekerjaan, menanggalkan segala atribut dan jabatan, karena tujuanku
hanyalah keridhaan-Mu bukan dunia yang fana dan bukan nafsu yang
serakah, maka lindungi aku dari adzab-Mu.”
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Jika calon haji sudah bertaubat, maka ia pasti akan mampu mencapai
hakikat haji yang telah digariskan oleh Allah, dalam firman-Nya,
Yang Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di
dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang
berakal.”
Seorang yang beribadah haji tidak boleh melakukan
rafats yaitu jima’ (bersenggama) dan segala ucapan yang menjurus kepada
nafsu syahwat. Tidak boleh melakukan fusuq yaitu segala bentuk maksiat
dan tidak boleh melakukan jidal yaitu saling berbantah-bantahan,
perdebatan yang mengikuti hawa nafsu, bukan untuk mencari kebenaran.
Maka, barang siapa yang telah sukses memenuhi perintah Allah tersebut
ia akan mendapatkan haji yang mabrur, yang di antara tandanya adalah
sepulang haji ia akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari
sebelumnya, serta tidak akan mengulang maksiat dan dosa-dosa yang lalu.
Ia akan tampil sebagai muslim yang shalih dan muslimah yang shalihah.
Maka sekembalinya mereka, bertambah banyaklah muslim dan muslimah yang
taat di sebuah negara, negara itu juga akan semakin aman, makmur, dan
sentausa. Maksiat dan kemungkaran akan menepi, perjudian dan pencurian
akan sepi, perzinaan dan pembunuhan akan mudah diatasi. Apalagi jika
yang pergi haji adalah para pejabat, para menteri, presiden dan para
wakil rakyat. Sepulang haji mereka yang tidak jujur berubah menjadi
jujur, yang tidak amanah berubah menjadi pribadi yang amanah, si kikir
akan berubah menjadi sang dermawan, yang kasar akan berubah menjadi
peramah, dan yang biasanya menyebar kejahatan akan berubah menebar
salam.
Itu semua manakala hajinya mabrur, ibadah hajinya
diterima oleh Allah SWT, Namun jika tidak mabrur, maka adalah bagaikan
siang yang dihadapkan dengan malam, semuanya bertolak belakang, mereka
tidak mengambil manfaat dari ibadah haji selain menambah gelar Pak Haji
atau Bu Hajjah di depan nama mereka. Yang korup tetap korup, yang penipu
tetap penipu, dan yang jahat tetap jahat. Na’uzu billahi min Dzaalik.
Maka tidak heran jika rafats, fusuq dan jidal marak di mana-mana.
Sampai-sampai terjadi krisis moral, krisis nilai, krisis kemanusiaan,
krisis politik, krisis aqidah, krisis ekonomi dan krisis dalam segala
bidang.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Demikianlah sekelumit tentang makna filosofi haji, predikat haji mabrur
dan gambaran haji yang tidak mabrur. Semoga Allah menjadikan jama’ah
haji kita yang dahulu dan yang akan datang menjadi haji yang mabrur dan
semoga dijauhkan dari haji yang maghrur (tertipu) dan mardud (tertolak).
Adapun kita yang belum melaksanakan ibadah haji, baik yang belum di
berikan kemampuan maupun sudah diberikan kemampuan akan tetapi belum
mendapatkan kesempatan, semoga Allah menanamkan dalam hati kita Azzam
(Tekad yang kuat dan Niat yang Ikhlas) hanya karena Allah, juga
diberikan oleh Allah “Istatho’a” atau kemampuan, baik kemampuan fisik
maupun kemampuan dalam hal materi. Serta diberikan oleh Allah SWT
kesempatan umur yang panjang sampai waktu giliran kita tiba, Amiiin Yaa
Rabbal ‘Alamiiin …
LIKE/SHARE supaya kebaikan terus menyebar
----------------------------------------------------
Yuk gabung juga di Bangga Berbusana Muslim
Sumber : KabahKiblatkuHajiMabrurImpianku
...•*´`*•.♥♥.•*´`'•.¸*¤* ¸.•'´´*•.♥♥.•*´`*•...