Adab-Adab Berdebat dalam Islam (Kajian Kitab Nafsiyyah Islamiyyah)
Download Kitab (Bahasa Arab):
Download Terjemah (2 Jilid):
(Kajian Kitab Min Muqawwimaat al-Nafsiyyah al-Islaamiyyah, Hizbut Tahrir)
Muqaaranah dan mujaadalah (perbandingan
dan debat) adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal
sejarah manusia. Al-Qur’an telah mendokumentasi tradisi ini hampir pada
setiap masa kenabian. Allah SWT berfirman:
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ ۚ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ
لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ ۖ وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا
هُزُوًا
“Dan tidaklah Kami mengutus
rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil
agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan kebenaran, dan mereka
menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka
sebagai olok-olokan.”(QS. al-Kahfi [18]: 56).
Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam
dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan
dokumen-dokumen sejarah lainnya. Motif utama dari diskusi dan
perbandingan adalah mencari kebenaran tertinggi, sekaligus untuk
mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah. Dengan
diskusi, akan diketahui pendapat siapakah yang paling dekat dengan
kebenaran, dan pendapat siapa yang lemah. Bila suatu pendapat telah
terbukti lemah dan salah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan
sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan.
والله الموفّق للصّواب
ADAB BERDEBAT DALAM ISLAM
Al-Jadal adalah At-Tahâwur (berdiskusi atau berdialog), seperti firman Allah:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي
تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ
تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya,
dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab
antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 1)
Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal
(berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal
(berdebat) adalah penyampaian hujjah atau yang diduga sebagai hujjah
oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat
atau madzhabnya, membatalkan hujjah lawan, dan mengubahnya kepada
pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang
diperintahkan syara’ untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan
kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Nahl [16]: 125)
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا
مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا
بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani)
berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang
beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka
yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika
kamu adalah orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 111)
Rasulullah SAW pun telah mendebat kaum
Musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah
akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahyi
munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah
ditentukan sebagai uslub dalam semua aktivitas yang wajib tersebut, maka
berdebat menjadi suatu kewajiban pula berdasarkan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna, kecuali dengan adanya hal yang lain, maka hal tersebut pun menjadi wajib.”
Di antara adab dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulama -dengan sebagian tambahan– adalah :
-
Mengedepankan ketakwaan kepada Allah, bermaksud taqarrub kepada-Nya, dan mencari ridha-Nya dengan menjalankan perintah-Nya.
-
Harus diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan
membatilkan yang batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan
menang dari lawan. Asy-Syafi’I berkata, “Aku tidak berbicara kepada
seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata
benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan
penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya
kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran
melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan
yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana
bagi pelakunya.”
-
Tidak dimaksudkan untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
-
Harus diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah, agama-Nya, dan kepada lawan debatnya. Karena agama adalah nasihat.
-
Harus diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada Rasul-Nya saw.
-
Harus memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik terhadap perkara yang diridhai-Nya.
-
Harus berdebat dengan metode yang baik dan dengan pandangan dan
kondisi yang baik. Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya petunjuk yang baik,
cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua
puluh lima bagian kenabian.” (HR. Ahmad dan Abû Dawud. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan)
Dari Ibnu Mas’ud sebagai hadits mawquf ia berkata: “Ketahuilah sesungguhnya sebagus-bagusnya petunjuk di akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal.“ (Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa sanad hadits ini shahih)
Yang dimaksud dengan petunjuk di sini
adalah metodologi. Yang dimaksud dengan as-samtu adalah al-mandzar
(pandangan) dan al-haiah (kondisi). Yang dimaksud dengan al-iqtishad
adalah ali’tidal (pertengahan). Singkat dan padat dalam berbicara. Yaitu
berbicara sedikit, menyeluruh, dan fasih (sesuai dengan yang
dimaksudkan). Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan.
Disamping juga lebih berpeluang menimbulkan kekeliruan, kelemahan, dan
kesalahan.
-
Harus sepakat dengan lawan debatnya terhadap dasar yang menjadi
rujukan keduanya. Dengan orang kafir dasar yang dijadikan sebagai
rujukan adalah akal semata-mata. Sedangkan jika berdebat dengan seorang
muslim, dasar rujukannya adalah akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada
perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara
yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya,
sebagaimana Firman Allah:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. al-Nisaa’ [4]: 59)
Maksudnya adalah merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunah.
-
Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat. Sebab,
ia tidak beriman kepada perkara pokok syariah. Karenanya, hendaknya
tidak berdebat dan berdiskusi dengan mereka mengenai pernikahan dengan
empat isteri, kesaksian wanita, jizyah, hukum waris, haramnya khamr, dan
sebagainya. Berdiskusi dengan orang kafir harus dibatasi pada perkara
ushul ad-din (pokok-pokok agama/akidah) yang dalilnya bersifat rasional.
Sebab, tujuan dari diskusi adalah memindahkannya dari kebatilan kepada
kebenaran, dari kesesatan menuju pada petunjuk. Hal ini tidak bisa
diwujudkan kecuali dengan memindahkannya dari kekufuran kepada keimanan.
Sebagaimana juga orang Nasrani tidak boleh diajak berdebat tentang
kebatilan agama Budha dan Yahudi. Bahkan pembicaraan bersama dengan
orang Nasrani tentang hal seperti itu dan yang sejenisnya tidak bisa
dipandang sebagai perdebatan. Orang Nasrani bukanlah orang Budha atau
Yahudi, sehingga kita bisa membawanya dari pemeluk Budha dan Yahudi
menjadi pemeluk Islam. Pembicaraan bersama orang Nasrani harus
difokuskan pada akidahnya yang batil untuk memindahkannya kepada Islam.
Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa kita sedang berdialog dengan
orang Nasrani pada perkara-perkara yang kita sepakati, dan kita
mengabaikan perkara yang tidak kita sepakati. Sebab, kita diperintahkan
untuk berdebat dengan mereka. Sedangkan perdebatan tidak akan terjadi
kecuali pada perkara yang diperselisihkan. Adapun jika orang Nasrani
atau Kapitalis bersepakat dengan seorang Muslim bahwa Budha, Sosialisme,
atau Komunisme adalah ajaran yang buruk menurut akal, kemudian keduanya
berbicara seputar agama dan ideologi itu, maka pembicaraan tersebut
tidak bisa disebut diskusi atau debat. Hal seperti itu juga tidak bisa
membebaskan tanggungan seorang Muslim dari kewajiban berdiskusi dan
berdebat dengannya hingga mampu memindahkannya kepada Islam.
Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa
kita telah berdialog dengan orang kafir dalam perkara yang telah
disepakati seraya meninggalkan perkara yang kita perselisihkan hingga
hari kiamat. Di hari itulah Allah akan memutuskan dan menetapkan dengan
kehendak-Nya di antara kita. Tidak bisa dikatakan demikian, dalam artian
menjauhi berdebat dengan mereka. Karena kita diperintahkan untuk
berdebat dengan mereka dalam perkara yang diperselisihkan. Jika kita
tidak melakukannya, berarti kita termasuk orang yang lalai (dari
kewajiban). Memang benar bahwa hukum di dunia dan akhirat adalah milik
Allah. Tetapi kita tidak boleh mencampuradukan antara perkara yang
merupakan perbuatan Allah dengan perkara yang diwajibkan kepada kita.
Perkataan seperti tadi adalah argumentasi orang yang ceroboh dan lalai,
bahkan itu merupakan kekacauan orang yang lalai, yang sama sekali tidak
memiliki dalil maupun subhat dalil.
-
Tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh
orang yang ada disekitarnya. Juga tidak boleh berteriak di hadapan lawan
diskusi. Dikisahkan ada seorang lelaki dari Bani Hasyim yang bernama
Abd ash-Shamad berbicara di hadapan Khalifah al-Ma’mun dengan
mengeraskan suaranya. Kemudian al-Ma’mun berkata, “Wahai Abd ash-Shamad,
janganlah engkau mengeraskan suaramu. Karena sesungguhnya kebenaran
terdapat pada yang paling tepat, bukan yang paling keras.” (Al-Khatib
dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih).
-
Tidak boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
-
Harus bersabar atas penyimpangan lawan diskusi, bersikap sabar, dan
memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu memang pandir. Maka kita harus
menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
-
Harus menjauhi al-hiddah dan al-dhajjar. Ibnu Sirin berkata,
“al-hiddah merupakan kiasan dari kebodohan.” Maksudnya adalah bodoh
dalam berdiskusi. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Menjauhi sedikit berfikir
lagi terburu-buru (dalam agama) adalah (sikap) terbaik dari umatku.”
Dalam hadits ini terdapat Salam bin Muslim ath-Thawil dan dia mathruk.
Dan hadits yang telah diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dari ‘Ali bin Abi
Thalib, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah
orang yang paling bersegera (dalam agama), yang apabila mereka marah
akan kembali (dapat mengendalikan diri). Dalam hadits ini terdapat
Nu’aim bin Salim bin Qanbar, ia adalah seorang pendusta.
-
Apabila berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka
janganlah mengatakan, “Engkau salah,” atau, “Perkataan anda keliru,”
melainkan harus mengatakan,“Bagaimana pendapat anda jika ada orang yang
mengatakan,” atau, “Ada orang yang mendebat, lalu berkata, ‘…’” Atau
membantah dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk,
seperti berkata, “Bukankah yang benar itu pernyataan demikian?”
-
Harus berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh
lawan diskusi agar bisa membantahnya. Juga tidak boleh cepat-cepat
berbicara sebelum lawan diskusi selesai berbicara. Dari Ibnu Wahab ia
berkata; Aku mendengar Malik pernah berkata, “Tidak ada kebaikan pada
jawaban sebelum dipahami terlebih dahulu. Bukan termasuk adab yang baik
jika seseorang memutuskan pembicaraan lawannya.” Adapun jika lawan
diskusi adalah hanya ingin berdebat, keras kepala, banyak membicarakan
yang tidak bermanfaat, maka yang menjadi sikap asal adalah tidak
berdiskusi dengannya jika hal itu telah diketahui ada pada dirinya.
Apabila baru terungkap di tengah-tengah diskusi, maka ia harus
menasihatinya. Apabila ia tidak bisa menjaga diri maka putuskanlah
pembicaraan.
-
Hendaknya menghadapkan wajahnya kepada lawan diskusi, dan tidak
berpaling kepada orang-orang yang hadir di forum diskusi karena
meremehkan lawan diskusinya. Sama saja apakah orang-orang itu berbeda
pendapat atau bersepakat dengannya. Jika lawan diskusi melakukan hal
itu, maka harus dinasihati. Apabila ia tidak mau menghentikannya, maka
hentikanlah diskusi itu.
-
Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub terhadap
pendapatnya. Sebab, orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari
orang lain.
-
Tidak boleh berdebat di forum-forum yang ditakutkan, seperti
berdiskusi di tempat terbuka dan di forum-forum umum. Kecuali jika ia
merasa tenteram dengan agamanya, tidak takut karena Allah terhadap caci
maki orang yang mencaci, siap menanggung risiko dari pembicaraannya,
baik berupa penjara atau bahkan pembunuhan. Juga berdiskusi di tempat
pemimpin atau penguasa yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya.
Apabila ia tidak bisa meneguhkan dirinya bersama Hamzah (tidak mampu
mengatakan hak di hadapan penguasa yang dzalim), maka sikap diam lebih
utama. Karena dalam kondisi seperti itu (dikhawatirkan) ia akan
meremehkan agama dan ilmu. Dalam kondisi ini, bisa diingat kembali
bagaimana sikap para ulama terdahulu semisal Imam Ahmad dan Imam
Malik.Juga sikap para ulama masa kini seperti para ulama yang mendebat
Muamar Kadzafi ketika mengingkari as-Sunah.
-
Tidak boleh berdebat dengan orang yang tidak disukai. Baik kebencian ini berasal dari dirinya atau datang dari lawannya.
-
Tidak boleh bermaksud ingin mengalahkan lawan diskusi dalam forum.
-
Tidak berpanjang lebar dalam pembicaraan, khususnya pada
perkara-perkara yang sudah diketahui lawan diskusi. Melainkan harus
berbicara dengan singkat, namun tidak merusak maksud hingga sampai pada
topik diskusinya.
-
Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan
ahlinya, atau di hadapan orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan
orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, “Termasuk
merendahkan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di
hadapan orang yang tidak mentaati ilmu itu.”
-
Tidak boleh merasa rendah untuk menerima kebenaran ketika kebenaran
itu tampak pada lisan lawannya. Karena sesungguhnya kembali kepada
kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan. Juga supaya
termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan
mengikuti yang paling benar.
-
Tidak boleh mengacaukan jawaban, yakni dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Seperti:
Penanya : Apakah Arab Saudi itu Daulah Islam?
Penjawab : Peradilan di sana Islami.
Jawaban ini adalah mughalathah (kacau atau tidak sesuai pertanyaan).
Jawaban yang seharusnya adalah mengatakan ya, tidak, atau saya tidak
tahu. Jawaban mana pun dari ketiga jawaban ini termasuk jawaban yang
muthabiqah (sesuai pertanyaan).
-
Tidak mengingkari perkara-perkara penting sehingga menjadi
penentangnya. Seperti orang mengingkari permusuhan orang-orang kafir
terhadap kaum Muslim. Atau mengingkari bahwa sistem yang diterapkan di
negeri-negeri Islam adalah sistem kufur, yakni tidak berhukum dengan
Islam.
-
Tidak mengucapkan kalimat yang global, kemudian setelah itu
membantahnya dalam hal yang rinci. Seperti mengatakan di awal
pembicaraannya bahwa Amerika adalah musuh bagi Islam dan kaum Muslim,
kemudian setelah itu mengatakan bahwa Amerika membantu orang-orang
Palestina dalam mendirikan negara mereka dan menentukan nasib mereka
sendiri, karena Amerika mencintai keadilan dan kebebasan. Atau
mengatakan bahwa Amerika datang ke Irak untuk membebaskan kedzaliman dan
kediktatoran.
-
Tidak menghindarkan diri dari membuang argumentasinya dalam setiap
masalah yang cocok dengannya. Seperti memperbolehkan membeli rumah-rumah
di Barat dengan riba yang didasarkan pada al-hajah al-khasshah
(kebutuhan khusus) yang diturunkan dan dari ad-dharurah al-khashah
(darurat khusus), kemudian tidak memperbolehkan kebutuhan-kebutuhan lain
seperti makanan, pakaian, dan pernikahan dengan riba. Maka sesungguhnya
memperbolehkan suatu kebutuhan berarti telah memubahkan banyak hal yang
haram, meskipun tidak menghilangkan argumentasi dan kaidahnya dalam
setiap kebutuhan, maka sungguh telah bertentangan.
والله أعلم بالصواب