Oleh Saad Saefullah — Senin 9 Zulhijjah 1434 / 14 October 2013 18:00
Oleh: Ady C. Effendy
C. Kejatuhan Konstantinopel: Faktor di balik Keberhasilan Penaklukan
SETELAH gencatan senjata, Sultan Murad II secara mengejutkan
menyerahkan tahta kepada putranya Muhammad II, yang pada saat itu baru
berusia dua belas tahun. Pada Rabi II 848 H/ Juli 1444M, Muhammad II
diangkat sebagai sultan oleh ayahnya. Dia ingin mempersiapkan anaknya
untuk sesegera mungkin mengambil alih kekuasaan yang telah menyibukkan
dirinya seumur hidupnya.
Alasan lain yang disebutkan untuk suksesi yang sangat cepat ini
adalah bahwa Sultan Murad II ingin memastikan legitimasi pemerintahan
putranya melawan seorang pangeran palsu keturunan Turki Usmani yang
mengklaim kekuasaan dan tinggal di dalam kota Konstantinopel, yaitu
pangeran Orkhan.
Pemerintahan pertama Sultan Muhammad II yang tercatat dari Rabi II
848H / Juli 1444M hingga Djumada II 850H/August 1448M, menemui
kegagalan. Krisis internal pemberontakan Hurufi di Edirne pada 8 Djumada
II 848/22 September 1444. Krisis eksternal yang ditimbulkan oleh fakta
bahwa sepuluh tahun gencatan senjata rupanya dilanggar oleh raja
Hungaria yang menyeberangi sungai ke Bulgaria. Paus mengampuni raja
Hungaria atas sumpah yang telah diucapkannya dengan alasan bahwa hal itu
tidak berlaku karena ia bersumpah untuk seorang kafir. Dalam 4-8
Djumada II 848 H/ 18-22 September 1444M, raja dan tentara salib siap
untuk pertempuran.
Pada bulan November 1444, dengan bantuan pelaut Genoa, tentara Usmani
di bawah Murad II menyeberang ke Eropa dan melawan tentara salib di
dekat pelabuhan Laut Hitam Varna, utara dari Konstantinopel. Dinasti
Utsmani menang secara telak, raja Hungaria tewas, dan hanya sedikit yang
lolos.
Murad II mengupayakan untuk memastikan suksesi Sultan Muhammad II
setelah mengajaknya untuk turut dalam kampanye militer yang besar di
kawasan Balkan – melawan Hungaria di Kossova di 852H/1448M, dan melawan
Albania pada musim panas 854H/1450M. Murad II memerintahkan anaknya
untuk menikahi Sitti Khatun putri Dzul Kadirid penguasa, yang secara
tradisional merupakan sekutu Turki Usmani melawan Karamanids, dan
kemudian tinggal di istana ayahnya di Manisa, Anatolia. Tak lama setelah
menerima kabar kematian ayahnya, Sultan Muhammad Al Fatih sekali lagi
kembali ke tahta Usmani pada 16 Muharram 855H/18 Februari 1451M.
Ancaman eksternal terus menempatkan kepemimpinan Sultan Muhammad II
dalam ancaman. Kaisar Bizantium, dalam upaya untuk mendapatkan konsesi
dari Sultan Muhammad II, mengancam untuk melepaskan pangeran Orkhan.
Pada saat yang sama, Karamanid Ibrahim menginvasi wilayah sengketa di
Hamid-ili. Wazir Candarli berhasil menahan Byzantium dan Serbia dengan
konsesi teritorial, sedangkan sultan muda memulai kampanye militer
pertamanya melawan pasukan Karamanid tersebut.
Dia juga telah mengamankan perjanjian dengan Venesia (13 Sha’ban
855/10 September 1451) dan Hungaria (25 Syawal 855/20 November 1451)
serta menyewa seorang ilmuwan Hungaria bernama Urban untuk menciptakan
meriam paling kuat yang pernah dikenal untuk menghancurkan dinding tua
Konstantinopel. Panglima Zaghanos dan Syekh Shihabuddin mendukung perang
tersebut seraya menegaskan ancaman bahaya yang ditimbulkan dari
Bizantium untuk kekhilafahan Islam dan dapat memecah kesatuannya.
Keberhasilan penaklukan akan sangat tergantung pada efisiensi waktu dan
efektivitas pengepungan.
BERSAMBUNG
Sumber :Islampos