Oleh Saad Saefullah — Jumat 24 Jamadilawal 1434 / 5 April 2013 10:46
Pelajaran pahit dari Turki dan India yang pernah mengecap kejayaan
Islam. Wilayah luas yang tak terkontrol dan termarginalisasi memicu
ketidakpuasan. Penjajah meniupkan pemberontakan atas nama nasionalisme.
SEJARAH menyisakan kenangan. Di balik kontroversi pernyataan
Paus Benedictus XVI sebenarnya tersembunyi kisah yang mencekam bagi
negara-negara Eropa.Dalam suatu ceramahnya di Universitas Regensburg,
Jerman, pemimpin Gereja Katolik itu mengutip pernyataan Manuel II
Paleologus yang sedang berada dalam tahanan (1394 – 1402) Khilafah Turki
Utsmani. Manuel II (1391-1425) dan anaknya Ioannes VIII Palaelogus
(1425-1448) adalah kaisar terakhir di kalangan penguasa Byzantium,
sebelum ibukota Kristen di benua Eropa itu ditaklukkan Khalifah Muhammad
al Fatih (1453). Yang sangat menggegerkan, pada momen penaklukkan
bersejarah itu al Fatih masih berusia 23 tahun!
Tak diketahui persis mengapa Paus mengutip pernyataan Manuel yang
sedang berdiskusi dengan seorang cendekiawan Persia dalam sel penjara,
meski akhirnya Paus menyatakan permohonan maaf dan penyesalan, namun
dampak psikologisnya bisa mengingatkan warga Eropa tentang kehidupan
mereka di abad ke-15. Era itu adalah puncak kejayaan Islam di Eropa,
setelah Daulah Bani Ummayah dihancurkan di Spanyol. Wilayah kekuasaan
Utsmaniyah sangat luas meliputi seluruh Timur Tengah dan Eropa Tengah,
terutama kawasan Balkan (Bosnia dan Serbia) sampai menyentuh batas
Italia, Jerman, Yunani, dan Hungaria. Al Fatih meninggal sebelum men-
capai target Rhodesia di benua Afrika.
Daulah Utsmaniyah yang didirikan sekitar 1326 oleh Ourkhan bin Utsman
menguasai wilayah paling
luas di kawasan Timur Tengah pada masa Selim I
(1512) hingga mencapai batas Iraq (yang pernah dipengaruhi kera- jaan
Safavid) serta daerah Suriah dan Mesir. Namun era kejayaan dalam arti
ekonomi, politik dan militer dicapai pada masa Suleiman II (1520 –1566)
yang berhasil menaklukkan Armenia di timur dan Rhodesia serta Spanyol di
bagian barat.
Pada masa itu batas kekuasaan Turki Utsmani sering dijuluki dari
Mekah hingga Budapest (Hungaria), atau dari Baghdad hingga Aljazair.
Tiga samudera penting berada di bawah kendali kaum muslimin, yakni Laut
Merah (di Timteng), Laut Putih (di Eropa/Balkan) dan Laut Hitam (di Asia
Tengah). Dalam studi geopolitik terkenal teori “siapa yang menguasai
daratan Eurasia, maka dia akan menguasai dunia”. Eurasia adalah bagian
dari daratan Eropa yang menyambung langsung ke Asia, wilayah strategis
itu telah dikuasai Turki empat abad yang lalu.
Tragisnya sepeninggal Suleiman II, penguasa Turki mengalami
dekadensi, hingga berkembanglah makar untuk meruntuhkan khilafah Islam.
Pemberontakan domestik ditiupkan di berbagai wilayah kekuasaan Turki,
seperti yang di kalangan pengikut sekte Druz yang melakukan sinkretisme
ajaran Islam, pimpinan Fakhrudin bin Al Ma’ni. Mereka merasa
terpinggirkan selaku minoritas, padahal sesungguhnya sekte ini merupakan
kreasi kelompok Yahudi yang telah dilindungi dinasti Turki.
Sementara itu negara-negara Eropa yang selama ini saling bertempur
sesamanya antara kekuatan Protestan dan Katolik – kondisi itulah yang
membuat frustasi Manuel II – akhirnya mencapai kesepakatan damai
Westphalia (1667). Kaum Kristen Eropa mula memobilisasi kekuatan
kolektif untuk melepaskan diri dari pengaruh Turki. Hingga meletuslah
Perang Krim (1854-1856), yang menyebabkan wilayah Eropa terlepas dan
kendali Turki.
Selain pemberontakan, Eropa Kristen mengembangkan ideologi baru untuk
memecah-belah kekuatan Turki, yakni dengan menyebarkan nasionalisme. Di
Turki muncul Gerakan Turki Muda yang dipimpin Mustafa Kemal Pasha,
pemuda keturunan Yahudi Dunmah yang dibina sebagai agen intelijen
Inggris. Gerakan liberalisme Islam itu menawarkan konstitusi baru 1876
untuk menggantikan syariat Islam. Di kawasan Arab yang bergolak muncul
wabah nasionalisme serupa hingga penyelenggaraan Konverensi Pemuda Arab
di Paris (1913) untuk memerdekakan diri dari Turki. Di sini nasionalisme
Turki dibenturkan dengan nasionalisme Arab, sehingga akhirnya
pertikaian sesama kelompok Islam. Adu domba yang keji.
Disamping ideologi nasionalisme, cendekiawan Kristen juga
menggencarkan kajian khusus Orientalisme yang telah dirintis sejak abad
14. Makar keagamaan itu berpuncak pada keruntuhan Turki Utsman (19- 24),
setelah Mustafa Kemal men- dirikan Republik dan mengganti konstitusi
Islam dengan undang- undang sipil sekuler warisan Na- poleon Bonaparte.
Mustafa Kamal dibina langsung dan dipermak sebagai pahlawan baru bagi
Turki, hingga akhirnya dinobatkan sebagai “Ataturk” (Bapak Pendiri Turki
modern). Gerakan Turki Muda juga dipersenjatai untuk melakukan
pembelotan terhadap khilafah.
Pada saat yang bersamaan, ketika kekuasaan Turki semakin lemah,
penjajah Inggris mengutus seorang agen intelijennya Thomas Edward
Lawrence. Lawrence yang dikenal sebagai ahli sejarah dari Universitas
Oxford mempelajari adat-istiadat Arab dengan detail dan manawarkan
formula penjajahan baru dengan menerbitkan buku berjudul “Seven Pillars of Wisdom” (1929).
Dalam buku itu, antara lain, Lawrence menyebut pentingnya mobilisasi
pasukan gerilya untuk menghadapi tentara regular Turki yang besar.
Dengan strategi itu Lawrence mendukung pembentukan pasukan Arab yang
solid dari berbagai kabilah badui. [sapto waluyo/saksi/islampos]
BERSAMBUNG
Sumber :Islampos