BERIKHITAR,BERSABAR,DAB BERTAWAKAL..
Nuansa
keimanan, renungkan rasakan, Bahwa adalah sebuah cobaan yang berujung
rahmat. Akankah kita mampu bersabar. Sabar mengandung makna kenikmatan.
Perasaan akan memperoleh pahala memberikan kenikmatan yang jauh lebih
besar. Penyakit memang menyiksa tapi ingat di belakangnya terdapat
kenikmatan, dan berbuah pahala pengampunan dosa.
http://albathol-store.blogspot.com/2011/05/hikmah-bagi-orang-sakit.html
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahmati kita semua- telah menjadi ketetapan dari Allah Azza wa Jalla bahwa setiap manusia pasti pernah mengalami sakit dan musibah selama hidupnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi
roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).
Sakit dan
musibah yang menimpa seorang mukmin mengandung hikmah yang merupakan
rahmat dari Allah Ta’ala. Imam Ibnul Qayyim berkata : “Andaikata kita
bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya,
maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas,
pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia
jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang
sia-sia dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang
sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini”. (Syifa-ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil hal 452).
"BERSABAR PADA COBAAN DIDUNIA UTK MNDPTKAN KEBAHAGIAAN ABADI DIAKHIRAT"
Nabi
SAW bersabda,“Jika Allah m'hendaki kebaikan untuk seorang hamba-Nya
maka Allah akan menyegerakan hukuman untuknya didunia.Sebaliknya jika
Allah menghendaki keburukan utk seorang hamba maka Allah akan biarkan
orang tersebut dgn dosa2nya sehingga Allah akan memberikan balasan untuk
dosa tersebut pd hari Kiamat nanti”(HR Tirmidzi, hasan)
Dalam menyikapi sakit dan musibah tersebut, berikut ini ada beberapa prinsip yang harus menjadi pegangan seorang muslim :
1. Sakit dan Musibah adalah Takdir Allah Azza wa Jalla
“Tiada
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah” (QS. At-Taghaabun : 11).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak
lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).
2. Sakit dan Musibah Adalah Penghapus Dosa
Ini
adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit dan musibah. Dan
hikmah ini sayangnya tidak banyak diketahui oleh saudara-saudara kita
yang tertimpa musibah. Acapkali kita mendengar manusia ketika ditimpa
sakit dan musibah malah mencaci maki, berkeluh kesah, bahkan yang lebih
parah meratapi nasib dan berburuk sangka dengan takdir Allah. Nauzubillah, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan semacam itu. Padahal apabila mereka mengetahui hikmah dibalik semua itu, maka -insya Allah- sakit dan musibah terasa ringan disebabkan banyaknya rahmat dan kasih sayang dari Allah Ta’ala.
Hikmah dibalik sakit dan musibah diterangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda:
“Tidaklah
seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah
akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan
daun-daunnya”.
(HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).
“Tidaklah
seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan,
gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah
akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).
“Tidaklah
menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan,
penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang
menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim no. 2573).
“Bencana
senantiasa menimpa orang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya dan
hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada
kesalahan pada dirinya”.
(HR. Tirmidzi no. 2399, Ahmad II/450, Al-Hakim I/346 dan IV/314, Ibnu Hibban no. 697, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh Zham-aan no. 576).
“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”.
(HR. Al-Hakim I/348, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Shohih Jami’is Shoghirno.1870).
“Tidaklah
seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan
ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula
satu kesalahan darinya”. (HR. Muslim no. 2572).
“Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api neraka”. (HR. Al-Bazzar, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash Shohihah no. 1821).
“Janganlah
kamu mencaci-maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit
itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api
menghilangkan kotoran-kotoran besi”. (HR. Muslim no. 2575).
Walaupun demikian, apabila seorang mukmin ditimpa suatu penyakit tidaklah meniadakan usaha (ikhtiar) untuk berobat. Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah tidak menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya”. (HR.
Bukhari no. 5678). Dan yang perlu diperhatikan dalam berobat ini adalah
menghindarkan dari cara-cara yang dilarang agama seperti mendatangi
dukun, paranormal, ‘orang pintar’, dan sebangsanya yang acapkali dikemas
dengan label ‘pengobatan alternatif’. Selain itu dalam berobat juga
tidak diperbolehkan memakai benda-benda yang haram seperti darah, khamr,
bangkai dan sebagainya karena telah ada larangannya dari Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallamyang bersabda :
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”. (HR. Ad Daulabi dalam al-Kuna, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash- Shohihah no. 1633).
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa-apa yang haram”.
(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban no. 1397. Dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitabMawaaridizh Zham-aan no. 1172).
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa-apa yang diharamkan atas kalian”. (HR. Bukhari, di-maushulkan ath-Thabrani dalam Mu’jam al Kabiir, berkata Ibnu Hajar : ‘sanadnya shohih’, Fathul Baari : X/78-79).
3. Wajib Bersabar dan Ridho Apabila Ditimpa Sakit dan Musibah
Apabila sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang mukmin haruslah sabar dan ridho terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, dan harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya sebagai ganjaran dari musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna
lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).
Dalam beberapa hadis Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Wahai
anak Adam, jika engkau sabar dan mencari keridhoan pada saat musibah
yang pertama, maka Aku tidak meridhoi pahalamu melainkan surga”.
(HR. Ibnu Majah no.1597, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah : I/266).
Maksud
hadis diatas yakni apabila seorang hamba ridho dengan musibah yang
menimpanya maka Allah ridho memberikan pahala kepadanya dengan surga.
“Jika
anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah akan berkata kepada
malaikat-Nya : ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?. Para
Malaikat menjawab : ‘Ya, benar’. Lalu Dia bertanya lagi : ‘Apakah kalian
mengambil buah hatinya?’. Malaikat menjawab : ‘Ya’. Kemudian Dia
berkata : ‘Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku itu?’. Malaikat menjawab ‘Ia
memanjatkan pujian kepada-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’ (Inna
lillaahi wa innaa ilaihi roji’un). Allah Azza wa Jalla berfirman :
‘Bangunkan untuk hamba-Ku sebuah rumah di surga dan namai dengan (nama)
Baitul Hamd (rumah pujian)’.” (HR Tirmidzi no.1021, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi no. 814)
“Tidaklah
ada suatu balasan (yang lebih pantas) di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang
beriman jika Aku telah mencabut nyawa kesayangannya dari penduduk dunia
kemudian ia bersabar atas kehilangan orang kesayangannya itu melainkan
surga”. (HR. Bukhari).
“Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : ‘Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya (yakni menjadikan seorang hamba kehilangan dua penglihatannya/buta) lalu ia bersabar maka Aku akan menggantikan keduanya dengan surga”. (HR. Bukhari).
Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika
Allah menyukai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa
yang ridho maka baginya keridhoan, dan barangsiapa yang murka maka
baginya kemurkaan”. (HR. Tirmidzi no. 2396, Ibnu Majah no. 4031, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi II/286).
Hikmah
lainnya dari sakit dan musibah adalah menyadarkan seorang hamba yang
tadinya lalai dan jauh dari mengingat Allah -karena tertipu oleh
kesehatan badan dan sibuk mengurus harta- untuk kembali mengingat
Robb-nya. Karena jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau
musibah barulah ia merasakan kehinaan, kelemahan, teringat akan
dosa-dosa, dan ketidakmampuannya di hadapan Allah Ta’ala, sehingga ia
kembali kepada Allah dengan penyesalan, kepasrahan, memohon ampunan dan
berdoa kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat
sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan
dan kemelaratan supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk
merendahkan diri”. (QS. Al-An’aam : 42).
Sakit dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan kesadaran seorang hamba bahwasanya ia sangat membutuhkan Allah Azza wa Jalla.
Tidak sesaatpun melainkan ia butuh kepada-Nya, sehingga ia akan selalu
tergantung kepada Robb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa
mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan
matinya, hanyalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
“Setiap kali Allah menurunkan penyakit, pasti Allah menurunkan (pula) obatnya.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Sampai
saat ini, banyak jenis penyakit yang menurut kajian medis modern tidak
ada obatnya atau tidak bisa disembuhkan. Penyakit seperti HIV atau AIDS,
diabetes, demam berdarah, hepatitis, gagal ginjal, jantung, alergi,
influensa, kista, kanker, tumor, dan lainnya. Bahkan, tidak sedikit
dokter yang memberikan obat kepada pasiennya dengan pesan bahwa obat
yang diberikan tidak menjamin kesembuhan, melainkan hanya mengurangi
(menghilangkan) rasa sakit.
Sesungguhnya kenyataan
ataupun teori adanya penyakit yang tidak ada obatnya atau tidak bisa
disembuhkan bertentangan dengan aqidah Islam. Karena, sejak lima belas
abad silam, Rasulullah Muhammad saw menegaskan, bahwa setiap penyakit
ada obatnya dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt, kecuali penuaan
dan kematian. Sedangkan ragam obatnya sendiri sudah disediakan
(diciptakan) oleh Sang Maha Penyembuh Allah swt, begitu pula teori dan
praktik pengobatannya secara garis besar maupun detail telah
disejajarkan Rasulullah saw selaku teladan utama dalam dunia kedokteran.
Imam
Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah saw yang mengatakan:
“Masing-masing penyakit pasti ada obatnya. Kalau obat sudah mengenai
penyakit, penyakit itu, pasti akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa
Jalla.
Mengenai obat, ada satu obat yang berguna bagi segala penyakit, yakni HABBATUSSAUDA.
Obat sekaligus suplemen ini insya Allah dapat menyembuhkan segala
penyakit, kecuali kematian. Hadits Rasulullah: “Gunakanlah Habbatussauda
sebagai obat, karena ia dapat menyembuhkan segala penyakit, kecuali
kematian.” (HR. Bukhari)
Dalam Shahih Bukhari dan
Muslim, Nabi Muhammad saw bersabda: “Setiap kali Allah menurunkan
penyakit, pasti Allah menurunkan obatnya.” Sementara Allah swt sendiri
yang Mahakuasa atas kesembuhan seseorang dari penyakit berfirman dalam
Surat Asy-Su’ara ayat 80: “Dan manakala aku (Muhammad) sakit, Dia
(Allah)-lah yang menyembuhkanku.”
Pakar
kedokteran Islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “ATH-THIBUN
AN-NABAWI” mengatakan, bahwa ungkapan Nabi “Setiap penyakit ada
obatnya”, memberikan semangat kepada orang yang sakit dan juga dokter
(thabib) yang mengobatinya, selain juga mengandung anjuran untuk mencari
obat dan menyelidikinya. Karena, jelas Ibnu Qayyim, kalau orang sakit
sudah merasakan pada dirinya satu keyakinan bahwa ada obat yang akan
dapat menghilangkan rasa sakitnya, ia akan bergantung pada ruh harapan.
Rasa panas dari keputusasaan akan berhasil ia dinginkan sehingga pintu
harapan terbuka lebar.
Kalau jiwanya sudah kuat,
paparnya, suhu panas insting seseorang akan meningkat. Kalau semangat
seperti itu sudah meningkat, maka stamina yang mendukung tubuhnya juga
meningkat sehingga mampu mengatasi, bahkan mengusir penyakit.
Demikian
juga bagi dokter itu sendiri, kalau ia sudah meyakini bahwa setiap
penyakit pasti ada obatnya, ia juga bisa terus mencari obat dari suatu
penyakit dan terus melakukan penelitian.
Dalam sebuah
riwayat dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim Khalilullah pernah bertanya, “Ya
Rabbii, dari manakah penyakit itu berasal?” Allah menjawab, “Dari-Ku.”
Ibrahim kembali bertanya, “Lalu, dari mana asal obatnya?” Alla menjawab,
“Dari-Ku juga.” Kembali Ibrahim bertanya, “Kalau begitu, apa gunanya
dokter?” Allah menjawab, “Ia adalah mankhluk yang diutus oleh-Ku untuk
membawa obat dari-Ku.”
Dokter yang dimaksud tersebut
adalah ahli medis yang mendasarkan ilmu dan metode pengobatannya pada
Alquran dan Alhadits, bukannya mereka (ahli medis) yang mendasarkan ilmu
dan pengobatannya pada teori Barat semata tanpa mau menengok metode
pengobatan Islami.
Bagi ahli medis atau ahli
pengobatan yang berani mengatakan adanya penyakit yang tidak ada obatnya
atau tidak bisa disembuhkan – meski dia Muslim – hal itu telah
melanggar kode etik pengobatan Islami yang meyakini bahwa setiap
penyakit ada obatnya dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt. Ahli
medis yang meyakini adanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau
tiada obatnya membuktikan bahwa yang bersangkutan dalam kinerjanya sama
sekali tidak menggunakan media pengobatan yang dianjurkan Allah swt dan
Rasul-Nya. Ahli pengobatan yang meyakini adanya penyakit yang tidak ada
obatnya atau tidak bisa disembuhkan pada umumnya kerap membuat pasiennya
pesimis, stres, dan berperan aktif dalam merusak aqidah pasiennya atas
kekuasaan Allah swt sebagai Maha Penyembuh.
Padahal
Rasulullah saw telah mengingatkan dalam sebuah sabdanya: “Salah satu
diantara sunnahku adalah pengobatan.” Dengan demikian, jelaslah bahwa
perhatian Islam terhadap dunia medis tiada yang mengungguli. Dan bila
saat ini banyak diantara kaum Muslim bergantung pada metode pengobatan
Barat, hal itu akibat kelalaian kaum Muslimin sendiri yang enggan
mengakali, mengamalkan, serta mengembangkan pengobatan yang Islami.
Ahli
medis yang merujuk pada pengobatan Islami, tentunya selalu memberikan
solusi terapi yang efektif dan absolut serta senantiasa membangkitkan
optimisme pada pasiennya untuk mencapai kesembuhan. Sebab, hal utama
yang akan ditanamkan pada pasiennya, bahwa setiap penyakit ada obatnya
dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt. Lantas dalam praktik
pengobatannya selalu membangun komunikasi yang dialogis dan penuh kasih
sayang, sekaligus berupaya membangkitkan keyakinan akan kesembuhan.
Pada
dasarnya, metode pengobatan Islami terhindar dari unsur-unsur
kezhaliman dan pemikiran komersialisasi belaka, sebab Islam menganjurkan
umatnya untuk saling tolong-menolong dalam kebajikan dan melarang
umatnya tolong-menolong dalam kemungkaran. Pada gilirannya panduan
tentang kiat-kiat menjaga kesehatan, pemeliharaan kesehatan serta
pencegahan (pengobatan) terhadap berbagai penyakit merupakan bagian
penting dari ajaran Islam yang seharusnya diamalkan oleh umat dalam
rangka menjadi Muslim yang kaaffah.
Untuk itu, metode
pengobatan dan obat-obatan yang telah diresepkan oleh Allah swt melalui
Rasul-Nya tidak boleh sedikitpun diragukan, apakah itu hijamah (bekam),
ruqyah, madu, habbatussauda, dan lainnya selama diamalkan sesuai
syariat.
Melalui pendekatan tersebut, ‘dokter’ dan
pasien selalu melakukan praktik pengobatan yang akan semakin
meningkatkan kecintaan kedua belah pihak pada Allah swt dan Rasul-Nya.
Bukan sebaliknya, pengobatan yang dijalankan merujuk pada konsep yang
bertentangan dengan Alquran dan Assunnah.
Sebab,
pengobatan yang tidak Islami biasanya hanya membuat hubungan yang semu
antara ‘dokter’ dan pasien serta tidak memberikan kesembuhan yang
sesungguhnya.
.Perlu disadari, bahwa hakikat kesembuhan
bukanlah milik dokter atau thabib, lembaga pengobatan atau obat,
melainkan hak mutlak Allah swt. Untuk itu, berbahagialah mereka yang
tengah dirundung sakit tetapi tidak sedikitpun mengeluh dan senantiasa
berupaya mendasarkan pengobatan atau penyembuhan melalui metode
pengobatan yang diridhai Allah swt.
TIDAK BERPUTUS ASA DALAM MENGHARAP RIDHA ALLAH SWT
“Setiap kali Allah menurunkan penyakit, pasti Allah menurunkan (pula) obatnya.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Sampai
saat ini, banyak jenis penyakit yang menurut kajian medis modern tidak
ada obatnya atau tidak bisa disembuhkan. Penyakit seperti HIV atau AIDS,
diabetes, demam berdarah, hepatitis, gagal ginjal, jantung, alergi,
influensa, kista, kanker, tumor, dan lainnya. Bahkan, tidak sedikit
dokter yang memberikan obat kepada pasiennya dengan pesan bahwa obat
yang diberikan tidak menjamin kesembuhan, melainkan hanya mengurangi
(menghilangkan) rasa sakit.
Sesungguhnya kenyataan
ataupun teori adanya penyakit yang tidak ada obatnya atau tidak bisa
disembuhkan bertentangan dengan aqidah Islam. Karena, sejak lima belas
abad silam, Rasulullah Muhammad saw menegaskan, bahwa setiap penyakit
ada obatnya dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt, kecuali penuaan
dan kematian. Sedangkan ragam obatnya sendiri sudah disediakan
(diciptakan) oleh Sang Maha Penyembuh Allah swt, begitu pula teori dan
praktik pengobatannya secara garis besar maupun detail telah
disejajarkan Rasulullah saw selaku teladan utama dalam dunia kedokteran.
Imam
Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah saw yang mengatakan:
“Masing-masing penyakit pasti ada obatnya. Kalau obat sudah mengenai
penyakit, penyakit itu, pasti akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa
Jalla.
Mengenai obat, ada satu obat yang berguna bagi segala penyakit, yakni HABBATUSSAUDA.
Obat sekaligus suplemen ini insya Allah dapat menyembuhkan segala
penyakit, kecuali kematian. Hadits Rasulullah: “Gunakanlah Habbatussauda
sebagai obat, karena ia dapat menyembuhkan segala penyakit, kecuali
kematian.” (HR. Bukhari)
Dalam Shahih Bukhari dan
Muslim, Nabi Muhammad saw bersabda: “Setiap kali Allah menurunkan
penyakit, pasti Allah menurunkan obatnya.” Sementara Allah swt sendiri
yang Mahakuasa atas kesembuhan seseorang dari penyakit berfirman dalam
Surat Asy-Su’ara ayat 80: “Dan manakala aku (Muhammad) sakit, Dia
(Allah)-lah yang menyembuhkanku.”
Pakar kedokteran
Islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “ATH-THIBUN AN-NABAWI”
mengatakan, bahwa ungkapan Nabi “Setiap penyakit ada obatnya”,
memberikan semangat kepada orang yang sakit dan juga dokter (thabib)
yang mengobatinya, selain juga mengandung anjuran untuk mencari obat dan
menyelidikinya. Karena, jelas Ibnu Qayyim, kalau orang sakit sudah
merasakan pada dirinya satu keyakinan bahwa ada obat yang akan dapat
menghilangkan rasa sakitnya, ia akan bergantung pada ruh harapan. Rasa
panas dari keputusasaan akan berhasil ia dinginkan sehingga pintu
harapan terbuka lebar.
Kalau jiwanya sudah kuat,
paparnya, suhu panas insting seseorang akan meningkat. Kalau semangat
seperti itu sudah meningkat, maka stamina yang mendukung tubuhnya juga
meningkat sehingga mampu mengatasi, bahkan mengusir penyakit.
Demikian
juga bagi dokter itu sendiri, kalau ia sudah meyakini bahwa setiap
penyakit pasti ada obatnya, ia juga bisa terus mencari obat dari suatu
penyakit dan terus melakukan penelitian.
Dalam sebuah
riwayat dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim Khalilullah pernah bertanya, “Ya
Rabbii, dari manakah penyakit itu berasal?” Allah menjawab, “Dari-Ku.”
Ibrahim kembali bertanya, “Lalu, dari mana asal obatnya?” Alla menjawab,
“Dari-Ku juga.” Kembali Ibrahim bertanya, “Kalau begitu, apa gunanya
dokter?” Allah menjawab, “Ia adalah mankhluk yang diutus oleh-Ku untuk
membawa obat dari-Ku.”
Dokter yang dimaksud tersebut
adalah ahli medis yang mendasarkan ilmu dan metode pengobatannya pada
Alquran dan Alhadits, bukannya mereka (ahli medis) yang mendasarkan ilmu
dan pengobatannya pada teori Barat semata tanpa mau menengok metode
pengobatan Islami.
Bagi ahli medis atau ahli
pengobatan yang berani mengatakan adanya penyakit yang tidak ada obatnya
atau tidak bisa disembuhkan – meski dia Muslim – hal itu telah
melanggar kode etik pengobatan Islami yang meyakini bahwa setiap
penyakit ada obatnya dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt. Ahli
medis yang meyakini adanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau
tiada obatnya membuktikan bahwa yang bersangkutan dalam kinerjanya sama
sekali tidak menggunakan media pengobatan yang dianjurkan Allah swt dan
Rasul-Nya. Ahli pengobatan yang meyakini adanya penyakit yang tidak ada
obatnya atau tidak bisa disembuhkan pada umumnya kerap membuat pasiennya
pesimis, stres, dan berperan aktif dalam merusak aqidah pasiennya atas
kekuasaan Allah swt sebagai Maha Penyembuh.
Padahal
Rasulullah saw telah mengingatkan dalam sebuah sabdanya: “Salah satu
diantara sunnahku adalah pengobatan.” Dengan demikian, jelaslah bahwa
perhatian Islam terhadap dunia medis tiada yang mengungguli. Dan bila
saat ini banyak diantara kaum Muslim bergantung pada metode pengobatan
Barat, hal itu akibat kelalaian kaum Muslimin sendiri yang enggan
mengakali, mengamalkan, serta mengembangkan pengobatan yang Islami.
Ahli
medis yang merujuk pada pengobatan Islami, tentunya selalu memberikan
solusi terapi yang efektif dan absolut serta senantiasa membangkitkan
optimisme pada pasiennya untuk mencapai kesembuhan. Sebab, hal utama
yang akan ditanamkan pada pasiennya, bahwa setiap penyakit ada obatnya
dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt. Lantas dalam praktik
pengobatannya selalu membangun komunikasi yang dialogis dan penuh kasih
sayang, sekaligus berupaya membangkitkan keyakinan akan kesembuhan.
Pada
dasarnya, metode pengobatan Islami terhindar dari unsur-unsur
kezhaliman dan pemikiran komersialisasi belaka, sebab Islam menganjurkan
umatnya untuk saling tolong-menolong dalam kebajikan dan melarang
umatnya tolong-menolong dalam kemungkaran. Pada gilirannya panduan
tentang kiat-kiat menjaga kesehatan, pemeliharaan kesehatan serta
pencegahan (pengobatan) terhadap berbagai penyakit merupakan bagian
penting dari ajaran Islam yang seharusnya diamalkan oleh umat dalam
rangka menjadi Muslim yang kaaffah.
Untuk itu, metode
pengobatan dan obat-obatan yang telah diresepkan oleh Allah swt melalui
Rasul-Nya tidak boleh sedikitpun diragukan, apakah itu hijamah (bekam),
ruqyah, madu, habbatussauda, dan lainnya selama diamalkan sesuai
syariat.
Melalui pendekatan tersebut, ‘dokter’ dan
pasien selalu melakukan praktik pengobatan yang akan semakin
meningkatkan kecintaan kedua belah pihak pada Allah swt dan Rasul-Nya.
Bukan sebaliknya, pengobatan yang dijalankan merujuk pada konsep yang
bertentangan dengan Alquran dan Assunnah.
Sebab,
pengobatan yang tidak Islami biasanya hanya membuat hubungan yang semu
antara ‘dokter’ dan pasien serta tidak memberikan kesembuhan yang
sesungguhnya.
Perlu disadari, bahwa hakikat kesembuhan bukanlah
milik dokter atau thabib, lembaga pengobatan atau obat, melainkan hak
mutlak Allah swt. Untuk itu, berbahagialah mereka yang tengah dirundung
sakit tetapi tidak sedikitpun mengeluh dan senantiasa berupaya
mendasarkan pengobatan atau penyembuhan melalui metode pengobatan yang
diridhai Allah swt. seperti contoh , saat ini pengobatan dengan madu dan
PROPOLIS juga dimi nati krn memang terbukti telah memberi bnyk
kesembuhan pada BERBAGAI MACAM penyakit, sesuai yang tertera dalam QS AN
NAHL:
Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang
di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia.
(QS. An-Nahl, 16:68)
Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang
memikirkan. (QS. An-Nahl, 16: 69)
SEMOGA BERMANFAAT,
Sumber :۩۞۩ MUALLAF ۩۞۩